Ayah mertuaku baru saja meninggal dunia. Tentu saja ini adalah kabar duka bagi keluarga dan para kerabat. Persiapan yang harus dilakukan benar-benar mendadak. Mulai dari pengurusan jenasah, surat-surat, hingga serangkaian ritual tradisi yang harus dipatuhi.
Tidak boleh tidak.
Alhamdulilah, banyak kerabat yang membantu. Apa yang bisa dan tidak bisa pun berhasil dipahami, meskipun dengan sedikit kelonggaran yang diperbolehkan atas nama perkembangan zaman.
Namun, di antara semuanya ada sebuah hal yang menggelitik. Dan, ini akan menjadi topik menarik untuk diulas.
"Koh, berapa usia Papa," tanya salah satu pengurus di rumah duka. Ia ingin menempatkannya pada papan pengumuman. Aku dengan santai menjawab 77 tahun. Tidak salah, karena ayah mertua lahir pada tahun 1946.
"Eh, benar gak sih?" tanyaku kepadanya lagi setelah melihat wajahnya yang seolah-olah tidak percaya kepadaku.
Aku lalu sadar dengan kesalahanku. Usia orang Tionghoa selalu harus ditambah satu. Ini terkait dengan sistem "xu sui" yang dianut oleh mayoritas orang Tionghoa. Dengan demikian usia papa mertuaku adalah 78 tahun.
Eh, masih salah pula. Si pengurus rumah duka masih protes juga. "Usia Papa 81 tahun."
Aku tidak bertanya lagi. Sebabnya sudah umum diketahui bahwa usia orang Tionghoa yang meninggal di atas 60 tahun, wajib ditambahkan tiga tahun. Saat itu, aku hanya lupa.
Kok bisa?
Awalnya aku pikir jika ini adalah bagian dari ritual. Mungkin ada hubungannya dengan pengharapan baik, sebagaimana tradisi-tradisi kuno yang mengikat.
Nyatanya tidak. Penyebabnya juga masih terkait dengan sistem xu sui yang tadi sudah kusebutkan. Xu sui artinya adalah usia imajiner. Ini adalah sebuah pola pemahaman usia yang dianut sejak zaman nenek moyang.
Secara harafiah "sui" berarti usia. Namun demikian, orang Tionghoa penganut paham tradisi memiliki cara tersendiri dalam melihat "sui."
Bayi Tionghoa akan berusia 1 tahun setelah ia lahir. Pada saat imlek pertama, ia akan bertambah dua tahun. Lalu, imlek-imlek berikutnya, usia bertambah 1 tahun.
Sebagai contoh:
Katakanlah si A lahir pada tanggal 21 Januari 2023. Usianya adalah 1 tahun. Keesokan harinya (22 Jan 2023) adalah tahun baru imlek. Dengan demikian, pada hari tersebut, usia si A sudah berumur 3 tahun, meskipun secara perhitungan awam, usianya baru dua hari.
Selanjutnya, mengacu kepada sistem xu sui, bayi Tionghoa akan bertambah 1 tahun pada setiap imlek, bukan pada tanggal kelahirannya. Dengan begitu si A akan berusia 4 tahun pada tanggal 10 Februari 2024 nanti, bukan pada tanggal 21 Januari 2024.
Mengapa demikian?
Sistem ini berasal dari sebuah perhitungan astrologi yang kompleks dan sudah berusia ribuan tahun. Orang Tionghoa kuno sangat percaya bahwa nasib seseorang terpengaruh dengan perhitungan astrologi / geomansi fengshui yang umum diketahui dengan sistem 12 shio.
Nah, nasib seseorang sebenarnya sudah berubah sejak imlek dimulai. Oleh sebab itu, sistem xu sui menganut paham bahwa usia seseorang dihitung berdasarkan berapa banyak shio yang sudah dilalui. Bukanlah perhitungan jumlah hari, bulan, atau tahun kalendar yang dilalui.
Tidak ada catatan yang jelas, siapa yang menciptakan sistem ini. Namun, sejarah mencatat bahwa sistem ini populer sejak era dinasti Song. (960-1279M).
Bukan hanya di China Daratan, sistem ini juga diakui secara umum pada beberapa negara Asia. Khususnya di Taiwan, di Korea, dan di Jepang.
Sementara, meskipun tidak terlalu populer, komunitas Tionghoa di Malaysia, Indonesia, Singapura, Hong Kong, bahkan Vietnam pun masih mengakuinya. Orang Vietnam bahkan memiliki padanan kata untuk sistem xu sui ini. Namanya, tuoi ta. Secara harafiah berarti "usia kita."
Ambigu
Sistem yang berbeda dari pola internasional ini bukannya tanpa hambatan. Di RRC misalkan. Pemerintah sadar jika banyak misinformasi akan terjadi jika sudah berhubungan dengan hubungan internasional. Untuk itulah mereka mengadopsi sistem kedua yang disebut dengan zhou sui.
Arti harafiahnya adalah usia peringatan atau usia penuh. Sistem ini tiada bedanya dengan yang berlaku umum. Penambahan usia diakui setiap tanggal kelahiran.
Meskipun demikian, sistem kedua yang sudah diterapkan sejak 1940an ini hanya berlaku formal dalam pengisian dokumen sipil. Sementara dalam percakapan informal, sistem xu sui, alias sistem tradisional tetap dikedepankan.
Hal yang sama juga terjadi di Taiwan. Di negara itu, penggunaan dua sistem masih berlaku. Baik secara formal, maupun informal.
Sementara di Jepang, sejak 1902, sistem yang bernama kazoedoshi  (menghitung tahun) ini sudah dianggap tidak berlaku lagi secara hukum. Namun, Masyarakat Jepang masih menggunakannya selama 50 tahun ke depan.
Pada 1950, barulah undang-undang menetapkan larangan bagi warganya untuk menggunakan sistem lama ini dan beralih ke sistem modern yang berdasarkan kalendar grogorian.
Sementara di Korea Utara, pemerintah otoriter telah resmi melarang sistem perhitungan usia model lama ini sejak 1986.
Menariknya, Korea Selatan yang seharusnya lebih "modern" malah terkesan lebih lamban. Pemerintah secara resmi melarang sistem tradisional dan mengharuskan warganya untuk menggunakan sistem internasional pada Juni 2023.
Sebelumnya, sama seperti di RRT, dua sistem umur masih diberlakukan. Secara umum, orang Korsel lebih nyaman menggunakan usia tradisional sebagai penanda. Usia mereka akan bertambah sejak tahun baru.
Bukannya tanpa alasan, sistem perhitungan usia resmi dari pemerintah Korea Selatan turut menyuburkan perilaku ini. Sebagai contoh, warga Korea baru diizinkan mengonsumsi alkohol pada saat ia berusia 19 tahun. Akan tetapi, usia 19 tahun resmi adalah pada saat tahun baru, bukan pada tanggal ulang tahunnya.
Nah, chaos baru terjadi setelah pandemi Covid-19 melanda dunia.
Apa yang terjadi?
Pada awal tahun 2022 saat vaksin mulai diperkenalkan, penggunaan dua sistem usia yang tidak konsisten menyebabkan aturan vaksin menjadi kacau. Kriteria menjadi ambigu karena produsen vaksin menetapkan aturan ketat tentang penggunaan vaksin. Baik dari sisi usia, jenis, maupun dosis.
Akhirnya, pada April 2022, pemerintah menyerukan akan mengubah KUH terkait pengakuan usia secara resmi dengan mengikuti standar internasional. Perubahan ini lalu berlaku secara resmi pada 28 Juni 2023. Hal ini pun berlaku untuk peraturan lainnya, seperti usia sekolah, usia untuk mendapatkan izin mengemudi, usia untuk minum alkohol, hingga wajib militer.
**
Kembali kepada penambahan tiga tahun usia ayah mertuaku pada saat ia meninggal. Apakah ini ada hubungannya dengan sistem xu sui juga?
Bisa iya, bisa tidak.
Sayangnya, tidak ada referensi resmi yang aku temukan. Jadinya, saya pun bertanya kepada ayahku. Ternyata penambahan usia 3 tahun pada orang yang meninggal terkait dengan penyesuaian usia antara penggunaan sistem penanggalan imlek (lunar) dan sistem kabisat.
Hal ini hanya berlaku pada mereka yang meninggal di atas 60 tahun. Ini terkait dengan siklus 12 shio yang akan berputar setiap 60 tahun. Lalu, mengapa 3 tahun? Katanya sih karena ada bulan kembar (lung-gwee) sebanyak 36 kali dalam sebuah periode 60 tahun. 36 bulan inilah yang dianggap sebagai "usia yang tidak tercatat" pada saat mendiang masih hidup.
Bingung?
Saya juga masih belum paham seutuhnya, tapi kira-kira seperti itulah. Perhitungan usia orang Tionghoa memang membingungkan, sebagaimana para jomlo yang menghadapi pertanyaan pada setiap hari perayaan imlek.
"Kapan kamu kawin?"
**
Acek Rudy for Kompasiana
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H