Ayah mertuaku baru saja meninggal dunia. Tentu saja ini adalah kabar duka bagi keluarga dan para kerabat. Persiapan yang harus dilakukan benar-benar mendadak. Mulai dari pengurusan jenasah, surat-surat, hingga serangkaian ritual tradisi yang harus dipatuhi.
Tidak boleh tidak.
Alhamdulilah, banyak kerabat yang membantu. Apa yang bisa dan tidak bisa pun berhasil dipahami, meskipun dengan sedikit kelonggaran yang diperbolehkan atas nama perkembangan zaman.
Namun, di antara semuanya ada sebuah hal yang menggelitik. Dan, ini akan menjadi topik menarik untuk diulas.
"Koh, berapa usia Papa," tanya salah satu pengurus di rumah duka. Ia ingin menempatkannya pada papan pengumuman. Aku dengan santai menjawab 77 tahun. Tidak salah, karena ayah mertua lahir pada tahun 1946.
"Eh, benar gak sih?" tanyaku kepadanya lagi setelah melihat wajahnya yang seolah-olah tidak percaya kepadaku.
Aku lalu sadar dengan kesalahanku. Usia orang Tionghoa selalu harus ditambah satu. Ini terkait dengan sistem "xu sui" yang dianut oleh mayoritas orang Tionghoa. Dengan demikian usia papa mertuaku adalah 78 tahun.
Eh, masih salah pula. Si pengurus rumah duka masih protes juga. "Usia Papa 81 tahun."
Aku tidak bertanya lagi. Sebabnya sudah umum diketahui bahwa usia orang Tionghoa yang meninggal di atas 60 tahun, wajib ditambahkan tiga tahun. Saat itu, aku hanya lupa.
Kok bisa?