Mohon tunggu...
Acek Rudy
Acek Rudy Mohon Tunggu... Konsultan - Palu Gada

Entrepreneur, Certified Public Speaker, Blogger, Author, Numerologist. Mua-muanya Dah.

Selanjutnya

Tutup

Horor Pilihan

Bao Jia Gui, Hantu Pembawa Hoki

29 Oktober 2023   22:06 Diperbarui: 29 Oktober 2023   22:11 2355
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bao Jia Gui, Hantu Pembawa Hoki (gambar: bbc.com, diolah pribadi)

Aming adalah penganut paham hoki akut.

Ia tahu itu, karena menurutnya orang Tionghoa seharusnya begitu. Sayangnya, tidak ada jurusan kuliah tentang hoki. Jika tidak, maka ia mungkin sudah lulus dengan predikat cum laude.

Kendati demikian, itu tidak masalah. Sebab pengetahuannya tentang hoki tidak boleh dipandang sebelah mata. Ia tahu bahwa angka 8 harus disertakan dalam nomor ponselnya. Ia tahu jika baju merah menyilaukan mata para dewa harta. Dan, ia tahu hantu mana yang bisa diperalat untuk membawa keberuntungan?

Hantu? Iya hantu.

Namanya Bao Jia Gui. Sebenarnya artinya adalah hantu penasaran. Tidak lebih tidak kurang. Namun bagi Aming, hantu ini punya nama lain, yakni Hantu Hoki.

Aming tidak mengada-ada. Ia sudah melakukan riset melalui banyak situs. Pun melalui hasil wawancara dengan para pengamat dunia gaib dan praktisi alam mistis. Semuanya tahu bahwa Bao Jia Gui adalah sejenis hantu yang bisa memberikan hoki, instan kontan.

Caranya?

"Ikatlah benang merah mengelilingi batang pohon di depan rumahmu. Jangan lupa masukkan namamu ke dalam kertas angpao yang kau selip di antara benang merah itu."

Aming sudah melakukannya. Sudah sejak seminggu lalu. Kini ia hanya perlu menunggu hoki datang menyerta. Entah dalam bentuk traktiran atau sekadar dompet tak bertuan. Tidak masalah.

Tapi, yang paling ia harapkan adalah nomor buntut undian. Diputar setiap hari kamis malam. Empat angka yang ia harapkan hadir dalam mimpinya.

"Tapi, Bao Jia Gui punya permintaan," potong suhu Tung saat ia melihat Aming yang sudah over pede.

"Sebelum kamu jalankan ritual itu, kamu harus tahu bahwa hantu tidak bisa diajak main-main."

"Apa permintaannya, Suhu?"

"Bao Jia Gui adalah arwah tersesat. Mereka enggan meninggalkan dunia ini sebelum bertemu dengan anak bayinya. Wujud mereka mudah dikenali, berambut panjang dan bergaun merah."

"Lalu, apa yang harus aku lakukan?"

"Kamu harus mencari bayinya," ujar suhu Tung lagi. "Atau konsekuensinya sangat berat?"

"Apa konsekuensinya?"

"Si Bao Jia Gui akan mengambil anak bayimu!"

"Oh, itu gampang," pungkas Aming tenang.

"Kamu yakin mau memberikan bayi kamu kepadanya?" pekik suhu Tung setelah melihat mata Aming yang berbinar-binar.

"Ah, gampang itu. Yang penting empat angkanya tepat, apapun beres!" jawab Aming seraya pergi meninggalkan suhu Tung.

**

Tahukah kamu jika hoki memang tidak bisa datang begitu saja. Harus ada usaha, itu sudah pasti. Tapi, itu pun belum juga cukup, harus juga ada tambahan bumbu lihai.

Itulah yang akan dilakukan oleh Aming. Ia masih bujang, tidak punya anak bayi. Kalaupun ia tidak bisa mencarikan si Bao Jia Gui anaknya, ia pun tak punya bayi untuk digantikan. Jadi, yang terpenting kaya dulu. Nanti kalau ia sudah kaya, ia bisa merekomendasikan si Bao Jia Gui kepada seseorang yang benar-benar sudah memiliki bayi.

**

Malam itu tidak seperti biasanya. Udara panas terasa, meskipun hujan keras baru saja mengguyur tanah. Angin sejuk yang bersemilir, tidak mampu menahan keringat yang mengalir deras di tubuh.

Aming mempunyai firasat, malam itu ia akan kedatang tamu. Lagipula ia memang sangat mengharapkan kehadirannya. Besok malam adalah waktu penarikan undian.

Selain itu, ia juga sudah terlanjur sesumbar kepada Aweng, sahabatnya. Empat nomor akan ia berikan besok pagi.

Dan, benar. Saat waktu menunjukkan pukul 12:00, Aming mendengar suara ketukan di depan pintu rumahnya. Antara girang dan gemetar, jantung Aming berdebar-debar. Bao Jia Gui benar-benar berkunjung ke rumahnya!

"S-Siapa?" tanya Aming.

"Aku koh!" Sebuah suara menyahut dari balik pintu. Suaranya merdu, tidak ada seram-seramnya. Aming kecewa. Yang datang bukanlah si Bao Jia Gui, melainkan seorang anak manusia.

"Bikin apa kamu di sini?" tanya Aming ketus ketika ia membuka pintu rumahnya.

"Boleh aku masuk, koh?" jawab si wanita yang berada di sana. Wajahnya memelas, seolah-olah sedang dalam bahaya besar.

"Untuk apa? Kalau kamu mau meledekku lagi, aku sudah tak punya apa-apa!" ketus Aming.

"T-Tidak koh. Ini tentang Monik," jawab perempuan itu. Wajahnya memerah, air mata mengalir deras dari matanya yang bersinar menahan kesedihan.

"Kenapa Monik?" tanya Aming dengan wajah khwatir yang dibuat-buat.

"Ia hilang Koh? Tadi sore menjelang maghrib!"

"Ha? Kenapa bisa?"

"Tidak tahu, Koh. Kejadiannya begitu cepat, aku sedang berada di jembatan penyeberangan orang Lebak Bulus."

"Lha, kenapa kamu bawa bayimu di sore hari menyeberangi JPO?" tanya Aming keheranan. Namun, wanita itu tidak bisa lagi bersuara. Suara tangisannya memilukan.

Sekelabat ada perasaan sedih yang Aming rasakan, akan tetapi itu belum juga mampu menggugah hatinya. Aming masih menyimpan dendam kepada adik kandungnya itu.

"Anggap saja itu pelajaran karena kamu jahat, Ah-Mei!" ketus Aming.

"Saya jahat apa Koh!" teriak Ah-Mei.

"Kalau Koh hanya mau harta warisan, ambillah. Ia masih ada di dalam brankas rumahku. Uang tunai, emas, dan sertifikat tanah, semua ada di sana!" pekiknya lagi.

"Kalau kamu memang hanya pentingkan harta, nomor saya kasih. 6-4-6-2. Aku tak sangka kamu sehina itu," cemooh Ah-Mei.

Aming masih belum berbicara. Ekspresi di wajahnya ia buat setenang mungkin. Mencoba tidak terlihat gembira karena Ah-Mei, adiknya itu sudah menyerah. Perebutan harta warisan berakhir malam itu. Dan, ialah yang keluar sebagai pemenang.

Sebentar lagi ia akan jadi kaya, meskipun Bao Jia Gui batal datang ke rumahnya.

"Tapi, kamu ingat Koh. Aku anggap kamu berutang. Kelak kalau aku tidak menemukan Monik, engkau yang harus membayar dengan jiwamu!" sumpah Ah-Mei.

**

Tahukah kamu jika hoki memang kejam. Ia tidak bisa dimiliki oleh orang-orang lemah. Apalagi semacam Ah-mei yang kini sudah kehilangan segalanya. Diceraikan suaminya saja serasa belum cukup, kini ditambah lagi dengan menghilangnya putri semata wayangnya.

"Rasakan kamu, Ah-Mei. Dendamku terbayar tuntas!"

Keesokan harinya.

Aming sudah bersiap-siap pergi ke rumah Ah-Mei. Tujuannya untuk mengklaim hadiah kemenangannya. Namun, pada saat ia hendak keluar rumah, terdengar bunyi ketokan pintu.

Si Aweng berada di sana, berharap cemas. "Semoga kamu sudah punya empat angka buat aku!" serunya kegirangan.

Aming yang sedang enak hati pun tak kalah senang. Dengan singkat ia berseru lantang, "6-4-6-2!" seraya pergi dengan sepeda motor bututnya. Tidak lagi memedulikan Aweng yang meloncat-loncat kegirangan.

Dan, benar.

Ah-Mei tidak berbohong, 6-4-6-2 memang nomor brankasnya. Mata Aming terbelalak melihat tumpukan uang seratus ribuan dan dua tas kecil berisikan emas serta perhiasan. Dengan cepat ia memasukkan semua benda berharga itu ke dalam tas ranselnya, lalu secepat kilat pergi meninggalkan asisten rumah tangga yang masih gelisah tidak karuan.

Ia tidak juga mau peduli dengan teriakan si ART, "Non Ah-Mei belum pulang sejak kemarin sore. Monik hilang belum ditemukan."

Tidak ada lagi yang Aming pedulikan. Baginya, hoki sudah ia dapatkan dan tidak ada lagi hal yang lebih penting daripada itu.

**

"Eh, kamu betul bertemu dengan Bao Jia Gui!" suara Aweng terdengar girang dari ujung telpon.

"Maksud kamu?" tanya Aming tidak mengerti.

"Halah, jangan pura-pura kamu. Aku menang sepuluh juta rupiah. Aku rasa kamu minimal dapat seratus juta deh. Kamu kan tidak pernah menye..." decit Aweng tanpa henti. Bagi Aming, informasi Aweng sudah tidak penting lagi.

Ia terhenyak, menyadari hal aneh yang baru saja terjadi.

"K-Kamu pasang nomor itu?" Aming buru-buru memotong kegembiraan kawannya itu. Suaranya tergagap-gagap.

"Iya, 6-4-6-2, memangnya kamu tidak?"

Aming tidak menjawab, karena memang ia tidak bisa menjawab lagi. Sebuah kalimat terngiang di kepalanya, "Tapi, kamu ingat Koh. Aku anggap kamu berutang. Kelak kalau aku tidak menemukan Monik, engkau yang harus membayar dengan jiwamu!"

Entah mengapa, kalimat yang bernada ancaman itu seolah-olah telah berubah menjadi kutukan. Itu karena ia tidak tahu lagi di mana ia berada. Di dalam rumahnya, ia merasa seluruh benda membesar. Tapi, bukan itu. Sesungguhnya badannya-lah yang mengecil. Dalam waktu singkat, Aming kembali lagi menjadi bayi.

Ia tidak bisa lagi bersuara, kecuali matanya yang melotot melihat sosok berambut panjang dan bergaun merah datang menghampirinya.

Bao Jia Gui telah hadir!

Hantu itu mengangkat tubuhnya yang telah menjadi bayi dari atas lantai, lalu menggendongnya. Aming ingin berteriak, tapi ia tidak mampu. Sosok hantu itu terlihat senang, matanya menjadi besar, seukuran yang tak masuk akal. Lidahnya menjulur panjang, menjilat-jilat wajah bayi Aming.

Dan, wajahnya.

Wajah itu sudah tidak asing lagi. Tidak lain, tidak bukan, si Ah-Mei adiknya yang baru saja kehilangan Monik, bayinya. []

**

Acek Rudy for Kompasiana

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Horor Selengkapnya
Lihat Horor Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun