"Kalau Koh hanya mau harta warisan, ambillah. Ia masih ada di dalam brankas rumahku. Uang tunai, emas, dan sertifikat tanah, semua ada di sana!" pekiknya lagi.
"Kalau kamu memang hanya pentingkan harta, nomor saya kasih. 6-4-6-2. Aku tak sangka kamu sehina itu," cemooh Ah-Mei.
Aming masih belum berbicara. Ekspresi di wajahnya ia buat setenang mungkin. Mencoba tidak terlihat gembira karena Ah-Mei, adiknya itu sudah menyerah. Perebutan harta warisan berakhir malam itu. Dan, ialah yang keluar sebagai pemenang.
Sebentar lagi ia akan jadi kaya, meskipun Bao Jia Gui batal datang ke rumahnya.
"Tapi, kamu ingat Koh. Aku anggap kamu berutang. Kelak kalau aku tidak menemukan Monik, engkau yang harus membayar dengan jiwamu!" sumpah Ah-Mei.
**
Tahukah kamu jika hoki memang kejam. Ia tidak bisa dimiliki oleh orang-orang lemah. Apalagi semacam Ah-mei yang kini sudah kehilangan segalanya. Diceraikan suaminya saja serasa belum cukup, kini ditambah lagi dengan menghilangnya putri semata wayangnya.
"Rasakan kamu, Ah-Mei. Dendamku terbayar tuntas!"
Keesokan harinya.
Aming sudah bersiap-siap pergi ke rumah Ah-Mei. Tujuannya untuk mengklaim hadiah kemenangannya. Namun, pada saat ia hendak keluar rumah, terdengar bunyi ketokan pintu.
Si Aweng berada di sana, berharap cemas. "Semoga kamu sudah punya empat angka buat aku!" serunya kegirangan.