Perasaan Chuang masih berdebar-debar ketika ia masuk ke dalam dapur, mengambil pesanan para pelanggan yang sudah siap disajikan. Sekaligus menuntaskan tugasnya, melayani para pelanggan yang datang pada hari itu.
Waktu berlalu begitu cepat, satu persatu pelanggan meninggalkan Rumah Bakmi Hao. Wajah mereka puas, dan Chuang tahu artinya. Bakmi Hao memang terkenal dengan kelezatannya. Itu karena resep dan ritual rahasia yang saban kali dilakukan mamanya. Mengusap-usap hidungnya sebanyak tujuh kali, sebelum mulai memasak.
Biasanya ekspresi pelanggan seperti itu adalah hiburan bagi Chuang. Tapi, tidak pada hari itu. Ada yang lebih menarik. Khema cantik yang masih menjadi perhatian utamanya. Kehadirannya masih penuh tanda tanya. Apakah Toa Pe Kong mendengarkan doanya, mengusir si Pencinta Bule dan mendatangkan penyayang leluhur. Dan bagai gayung bersambut, Chuang merasa jika perempuan berambut pendek itu juga menaruh perhatian kepadanya. Sebabnya, beberapa kali ia mendapati Khema melirik malu-malu ke arahnya.
Pada saat meja yang berisikan pelanggan hanya tersisa satu, gadis itu berdiri dan berjalan menuju meja kasir. Sambil mengeluarkan dompetnya untuk membayar, ia berkata, "Koh, sibuk? Bisa minta waktunya sebentar?" tanyanya sambil memasang senyuman terindah.
"Eh. Tidak juga sih."
"Begini Koh, sudah punya asuransi?"
"Eh. Belum." Darah Chuang sontak berdesir kencang. Ada sedikit perasaan sakit hati dan kecewa bercampur cinta. Rupanya gadis itu punya agenda lain. Menjual senyuman untuk seberkas kertas asuransi.
"Chuang!" teriakan nyaring mamanya menggemparkan gendang telinganya.
"Cuci piring!" sahutnya untuk kedua kali.
"Sabar, Chuang lagi bicara!"
"Dengan siapa?"