"Setengah lima sudah harus di kelas. Kegiatan belajar mengajar sudah harus jalan. Ini soal etos kerja. Anak SMA tidur jam 10 malam. Lalu, 6 jam istirahat, jam 4 bangun, mandi, sarapan, setengah jam ke sekolah. Mulainya pasti berat, tetapi tidak ada perubahan yang mudah. Setuju tidak semuanya?"
Arahan Gubernur NTT Viktor Bungtilu Laiskodat itu ramai beredar di media sosial. Tentang sekolah yang dimulai jam 5 pagi. Semakin ramai lagi ketika pertanyaannya di forum dijawab peserta dengan koor "Setuju!"
Kabar ini pun menjadi viral. Pro dan kontra tidak saja terjadi di NTT, tetapi juga di seantero negeri. Maklum, di zaman now tidak ada lagi batasan wilayah. Netizen yang maha tahu mudah berempati dengan hal-hal unik dan juga bersimpati terhadap hal-hal pelik.
Alasan pak Gubernur terdengar mulia. "Menggelorakan restorasi pendidikan di NTT."
"Anak asrama juga bersekolah pukul 5 pagi, para pedagang di pasar sudah bekerja dari jam 3 pagi, dan matahari di ufuk timur sudah terbit sebelum jam 5 pagi." Setidaknya ini adalah tiga alasan yang mengerucut atas usulan dari Viktor Bungtilu Laiskodat tersebut.
Namun, tidak semudah itu Ferguso.
Kubu lain lebih banyak pertimbangan. Seperti, soal keamanan, isu kesehatan, persoalan hak asasi anak, sarana transportasi, hingga efek domino terhadap para pendidik dan juga orangtua murid. Jadwal rutin mereka akan terganggu pula.
Saya akan memulai opini saya dengan pernyataan tegas, "tidak setuju."
Sebabnya saya pernah mengalaminya. Memang saat itu, sekolah tidak dimulai jam 5 pagi, tetapi jam 1 siang. Itu di masa medsos belum ada dan Menteri Nadiem masih di awang-awang. Tepatnya pada tahun 1980 saat saya masih duduk di bangku kelas 3 SD.
Saat itu sekolah saya termasuk sekolah swasta favorit. Banyak yang mendaftar. Sayangnya ruang kelas tidak cukup. Hanya enam kelas saja, masing-masing untuk kelas 1 sampai kelas 6.