Sejatinya Halloween adalah sebuah perayaan yang diadaptasi dari tradisi bangsa Celtic (Eropa Kuno). Menurut kepercayaan tersebut, setiap 31 Oktober malam, hantu-hantu gentayangan akan berkunjung ke rumah kerabat.
Tentu saja makhluk fana ketakutan, tempat para hantu sudah bukan di dunia ini lagi. Untuk menyiasatinya orang Celtic kemudian melakukan sebuah ritual di puncak gunung. Api unggun dinyalakan kostum digunakan. Bukan sembarang kostum, tetapi harus lebih menyeramkan dari hantu itu sendiri.
Tujuannya, agar para hantu gentayangan itu kapok dan melarikan diri.
Tradisi ini mengingatkanku dengan Festival Hantu Kelaparan (Hungry Ghost Festival) yang merupakan tradisi dari masyarakat China. Tidak ada catatan sejarah sejak kapan festival ini dirayakan, namun ditenggarai jika Taoisme memiliki peran penting terhadap kepercayaan ini.
Disebutkan jika setiap tanggal 15 bulan 7 imlek, pintu alam baka akan terbuka. Pada saat itu, para hantu memiliki masa reses. Turun ke bumi bertemu dengan sanak saudaranya.
Karena kondisi serba kekurangan di alam bawah, maka para hantu pun akan memulai masa liburannya dengan mencari makan.
Nah, apa yang dilakukan oleh warga Tionghoa? Tidak seperti bangsa Celtic, mereka tidak mengusirnya.
Makanan dan minuman tersaji di sepanjang jalan dan di dalam rumah. Hiburan wayang potehi atau opera China dimaksudkan agar para arwah tidak membuat keributan. Uang-uangan kertas ramai dibakar agar si hantu tidak kekurangan di alam baka.
Itu karena masyarakat Tionghoa percaya, jika para hantu juga adalah leluhur yang harus dihormati. Selain untuk menenangkan mereka agar tidak menganggu yang hidup, rasa iba harus juga menyerta. khususnya bagi para hantu liar yang sudah tidak mengenal sanak saudaranya lagi.
Di sini letak persoalannya....