Pada suatu siang saat toko sedang ramai-ramainya, saya berdiri di depan konter penitipan barang. Seorang ibuk-ibuk dengan langkah santai menenteng sebuah kantong plastik putih. Isinya satu buah mentega impor seharga 400 ribuan rupiah.
Tetiba aku tersadar. Tersebab aku melihat pintu etalase mentega terbuka lebar. Aku lalu menyapanya, "maaf buk, menteganya lupa dibayar ya."
Si ibuk tampak gelagapan pada awalnya, namun ia kembali tenang dan berkata jika itu adalah bawaannya dari rumah. Padahal sudah aturan toko bahwa setiap barang (kecuali tas/dompet) harus disimpan di meja penitipan barang.
Si ibuk bersikeras. Namun ketika pegawaiku berkata akan melihat ke CCTV, ia marah dan mengancam, akan mengadukan ke pihak berwajib. Barang itu ia letakkan begitu saja di lantai dan nyelongsor pergi.
Pegalaman saya pada hari itu hanyalah salah satu di antara jutaan kasus dengan ribuan cara dan ratusan motif. Selanjutnya, mari kita telusuri satu persatu...
Teknik Concealing (menyembunyikan)
Menurut saya, model pencurian si ibuk itu cukup canggih (atau nekat). Mengapa? Karena sesuatu yang terlihat wajar jarang menjadi perhatian. Jadi abaikan saja barang dagangan yang diselipkan di balik jaket, karena itu sudah kuno.
Tapi, kuno bukan berarti tidak ada. Cara demikian termasuk yang paling banyak. Istilah retailnya adalah concealing (menyembunyikan). Pelakunya biasanya solo alias perorangan.
Model yang lebih canggih dari teknik ini adalah menyembunyikan barang curian di dalam barang yang akan dibeli. Semisalnya menyembunyikan dompet kecil di dalam tas ransel.
Lalu adapula yang lebih dramatis. Seperti seorang ibu yang menggunakan "perut hamilnya" sebagai tempat persembunyian barang. Atau seseorang penyandang cacat palsu yang menyembunyikan hasil curiannya di kursi roda.
Impulsif
Terkadang pencurian barang tidak bisa dikatakan sebagai pencurian jika niat awalnya tidak seperti itu. Seperti seorang anak kecil yang membuka permen dan langsung memakannya.
Atau seperti kisah saya yang satu ini di sebuah minimart.
Pada hari itu belanjaan saya cukup banyak. Saking banyaknya, sehingga di meja kasir dibutuhkan dua orang staf yang bekerja.
Saya yang sudah terbiasa ringan tangan ini pun membantu mereka. Barang yang berserakan di keranjang, kumasukkan ke dalam kantongan.
Apa yang terjadi?
Barang Itu ternyata belum dicatat. Untungnya, si pegawai toko sigap dan mengeluarkannya kembali. Tanpa ekspresi dia membiarkanku terpana dengan wajah merem-mesem.
Jelas, saya tidak bermaksud mencuri. Tapi tetap saja, jika lolos maka saya merugikan mart tempatku berbelanja.
Teknik Underinging (Tidak Tercatat)
Tapi, jika ada intensi di sana untuk berbuat curang maka itu adalah pencurian. Katakanlah Rangga sedang bekerja sebagai kasir. Tetiba si Cinta sedang berbelanja. Bermaksud menjadi pahlawan, coklat pun digratiskan dengan pura-pura lupa mencatatnya.
Yang berbahaya lagi jika si Rangga ternyata punya geng. Ia melakukannya cukup sering, terutama untuk barang-barang mahal. Hitungannya sudah ada, jika harus membayar maka ada teman sejawatnya yang tanggung renteng. Tapi, kalau pun si Rangga harus membayar sendiri, ia tetap tidak rugi-rugi amat.
Kejahatan Terorganisir
Pencuri professional ada dimana-mana. Mereka sangat terorganisir dengan teknik yang sangat lihai. Saya masih ingat kejadian pada tahun 1980an silam. Saat itu saya sedang membantu menjaga toko papa.
Lalu ada serombongan pelanggan yang masuk ke dalam toko. Karena toko papa termasuk sempit, maka ruang gerak pun terbatas.
Melirik kiri kanan, bertanya ini itu. Alhasil, takada satu pun yang dibeli. Setelah toko kembali sepi, baru sadar jika barang dagangan di depan toko sudah hilang entah kemana.
Teknik seperti ini masih sering terlihat di televisi. Khususnya bagi toko yang menjual barang kecil tapi mahal, seperti hape atau barang elektronik lainnya.
Retur Barang
Beberapa toko memberlakukan syarat tidak bisa meretur barang yang sudah dibeli. Tapi, sebagian lagi lebih mengutamakan pelayanan pelanggan. Di sini letak masalahnya. Ada saja ulah dari pelanggan yang tidak jujur.
Pernah suatu hari saya berada di meja kasir. Lalu seorang encim-encim Tionghoa berpakaian lusuh masuk ke toko. Dengan muka iba, ia memohon agar barang yang sudah ia beli bisa ditukar.
Masalahnya, barang tersebut sudah terbuka. Ketika kutanyakan kepadanya tentang alasannya. Dia berkata jika rasanya masam. Padahal seharusnya sari kelapa (nata de coco) rasanya manis. Jadinya ia tidak bisa membuat pudding jualannya.
Berlandaskan rasa iba, saya pun mengizinkannya menukar barang. Si ibu lusuh berjalan menuju rak display dengan tampang sumrigah. Ia lalu kembali ke hadapanku. Langkah selanjutnya, ia menyobek bungkus nata de coco itu dengan gunting yang entah darimana.
"Masih asem, Koh!" ujarnya.
Saat itu saya baru sadar jika jenis yang ia ambil ternyata rasanya asam, bukan manis sebagaimana merek lainnya. Bungkus ketiga kini berada di hadapanku. Saya baru sadar saat ia ingin membukanya lagi.
Pada momen tersebut baru tanduk ini muncul. "Jangan dibuka, memang semua rasanya begitu!" teriakku. Si ibu lusuh itupun pergi dengan tampang misuh-misuh. Sampai hari ini, peristiwa tersebut masih menjadi misteri, entah apa yang ada dalam benak pikiran si encim itu.
Dan masih ada kisah selanjutnya. Seorang bapak masuk ke dalam toko. Menenteng sebungkus saos mayonaise. Ia meminta kasir toko untuk diretur. Malang baginya, merek tersebut tidak pernah dijual di toko. Jelas permintaannya ditolak.
Setelah itu, Widya manajerku berkata kepadaku, "mungkin sudah saatnya kita mengubah aturan retur, seperti toko sebelah."
"Tidak," ujarku yang masih punya prinsip.
"Masalahnya merek mayonaise itu dibeli di toko sebelah, si bapak tidak bisa retur di sana, sehingga ia kesini mencoba peruntungan," pungkas Widya.
Menghela napas, mencoba tenang. Sayangnya, kisah saya belum berakhir.
Transferan Palsu
Cukup banyak pembelian via online. Biasanya staf penjualan di toko meminta si pembeli untuk mengirim uangnya terlebih dahulu. Tidak masalah, tapi uang yang dikirim ternyata lebih banyak dari invoice.
Kemudian telpon pun berdering. Meminta agar selisih uangnya ditransfer kembali. Sekali kecolongan, sejumlah uang yang tertera pada bukti transfer tidak pernah hinggap ke rekening.
Bukan hanya sekali, tapi berulang-ulang kali. Oknumnya berbeda, tapi modus operandinya sama. Untungnya staf penjualan cepat belajar. Sekali kesalahan sudah cukup. Tidak akan terjadi untuk kedua kalinya.
**
Enam teknik penipuan ini hanyalah segelintir dari sekian ratus modus operandi para pencuri. Saya tidak memiliki tips dan trik untuk mencegahnya. Karena selihai apapun penjaga toko, pencuri akan tetap lihai.
Teknik-teknik baru akan terus bermunculan sesuai zaman. Tidak akan ada habis-habisnya.
Lalu, mengapa para pengutil masih eksis?
Kawan saya berkata karena himpitan ekonomi. "Bullshit", ujarku. Dalam sebuah survei yang pernah kubaca, pengutil akibat keadaan ekonomi hanya berkontribusi sebesar 2% saja.
Jangan pula gunakan alasan Kleptomania, seperti argumen suami si ibu MA yang kasusnya viral di Alfamart Tangerang. Karena jika memang demikian, maka itu sangat kebetulan. Karena pengutil Klepto jumlahnya hanya 1% dari keseluruhan kasus shoplifting.
Pada artikel berikutnya, saya akan membahas tentang tujuh jenis pegutil. Untuk sementara sampai di sini saja.
Saya sendiri sudah capek, karena kasus pencurian di dalam toko sepertinya tidak ada habis-habisnya. Tidak ada efek jera bagi pelaku. Karena mereka memahami "kekebalan hukumnya."
Mana mau pemilik toko berurusan dengan yang berwajib jika kehilangan barang hanya beberapa ribu perak saja.
Tapi, jika dijumlahkan selama setahun, kerugian yang disebabkan oleh kasus pencurian di dalam toko ini jumlahnya juga ngeri-ngeri sedap.
Kepada semua pengutil, pencuri, atau pelanggan yang tidak jujur. Saya hanya ingin mengutip sebuah pesan, "Kamu Jahad Cinta..." Kata Rangga. Eh...
**
Acek Rudy for Kompasiana
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H