Teknik seperti ini masih sering terlihat di televisi. Khususnya bagi toko yang menjual barang kecil tapi mahal, seperti hape atau barang elektronik lainnya.
Retur Barang
Beberapa toko memberlakukan syarat tidak bisa meretur barang yang sudah dibeli. Tapi, sebagian lagi lebih mengutamakan pelayanan pelanggan. Di sini letak masalahnya. Ada saja ulah dari pelanggan yang tidak jujur.
Pernah suatu hari saya berada di meja kasir. Lalu seorang encim-encim Tionghoa berpakaian lusuh masuk ke toko. Dengan muka iba, ia memohon agar barang yang sudah ia beli bisa ditukar.
Masalahnya, barang tersebut sudah terbuka. Ketika kutanyakan kepadanya tentang alasannya. Dia berkata jika rasanya masam. Padahal seharusnya sari kelapa (nata de coco) rasanya manis. Jadinya ia tidak bisa membuat pudding jualannya.
Berlandaskan rasa iba, saya pun mengizinkannya menukar barang. Si ibu lusuh berjalan menuju rak display dengan tampang sumrigah. Ia lalu kembali ke hadapanku. Langkah selanjutnya, ia menyobek bungkus nata de coco itu dengan gunting yang entah darimana.
"Masih asem, Koh!" ujarnya.
Saat itu saya baru sadar jika jenis yang ia ambil ternyata rasanya asam, bukan manis sebagaimana merek lainnya. Bungkus ketiga kini berada di hadapanku. Saya baru sadar saat ia ingin membukanya lagi.
Pada momen tersebut baru tanduk ini muncul. "Jangan dibuka, memang semua rasanya begitu!" teriakku. Si ibu lusuh itupun pergi dengan tampang misuh-misuh. Sampai hari ini, peristiwa tersebut masih menjadi misteri, entah apa yang ada dalam benak pikiran si encim itu.
Dan masih ada kisah selanjutnya. Seorang bapak masuk ke dalam toko. Menenteng sebungkus saos mayonaise. Ia meminta kasir toko untuk diretur. Malang baginya, merek tersebut tidak pernah dijual di toko. Jelas permintaannya ditolak.
Setelah itu, Widya manajerku berkata kepadaku, "mungkin sudah saatnya kita mengubah aturan retur, seperti toko sebelah."
"Tidak," ujarku yang masih punya prinsip.