Sekitar lima tahun silam, saya berkunjung ke dokter sahabatku. Tujuannya untuk berobat. Lalu pembicaraan pun mengarah ke kasus kopi sianida yang sedang hangat-hangatnya.
Si dokter memberikan tanggapannya, "satu-satunya cara untuk membuktikan jika korban meninggal karena sianida, adalah otopsi lengkap."
Pembicaraan pada sore hari itu bukan kongkow-kongkow biasa. Sebabnya dokter yang kuajak bicara adalah ahli patologi.
Bagi seorang ahli seperti dirinya, berbicara sesuai kebenaran adalah segalanya. Ia tetap menolak memberikanku kesimpulan akhir terhadap kasus tersebut.
"Kalau otopsi tidak dilakukan, maka saya sulit berbicara, Rud," ujarnya.
Saya terdiam. Saya sadar jika dokter ini sudah keukeuh dengan pendapatnya. Beberapa hari sebelum perbincangan pada sore hari itu, saya telah melihatnya hadir sebagai salah satu saksi ahli dalam kasus yang viral pada zamannya tersebut. [Baca link ini].
Sebenarnya alasan saya terdiam, karena juga merasa malu. Memaksa menerima opini masyarakat yang berseliweran dalam benakku.
Jessica Kumala Wongso bersalah...
Sejak awal persidangan, bukti demi bukti selalu mengarah kepada Jessica. Paling tidak ada beberapa hal yang memberatkannya. Pada 6 Januari 2016, Jessica lebih dulu hadir di tempat kejadian perkara, Kafe Oliver di Mal Grand Indonesia, Jakarta.
Ia memesan es kopi Vietnam untuk Mirna, dan dua cocktail bagi dirinya dan Hani, seorang kawannya lagi. Lalu meja nomor 54 tempat mereka duduk, juga adalah pesanan dari Jesicca.