Tidak heran jika saya selalu menunggu ada pemberitaan yang baik tentang Indonesia. Membayangkan jika teman-teman buleku akan berkata "hey it's your country."
Tapi apa daya tiga tahun berada di sana, tak satupun berita tentang Indonesia. Baik pada siaran televisi nasional maupun harian lokal. Barulah pada pertengahan 1994, foto presiden Soeharto beserta profil Indonesia muncul di harian Seattle Times.
Kebetulan pada saat itu kota Seattle terpilih menjadi tempat perhelatan APEC (Asia Pacific Economic Conference) yang pertama.
Mau tahu rasanya bagaimana? Roomate-ku datang membawa koran, "Foto Soeharto ada di sini. Lengkap dengan profil negara kita."
Kaum milenial janganlah tertawa dulu. Di zaman bapakmu media yang paling berpengaruh hanyalah televisi dan koran. Internet hanya untuk penggunaan terbatas.
Tidak heran jika pada hari itu, untuk pertama kalinya saya bangga menjadi mahasiswa Indonesia.
Kebahagiaan itu tidak kekal. Anicca kalau istilah Buddhisnya.
Setelah konferensi APEC berlalu, saya kembali bersedih. Nama Indonesia kembali lagi sepi gaung. Saya pun terbawa emosi. Merenung apa yang sebenarnya terjadi, saya lalu berasumsi yang tidak-tidak; Jejangan, Indonesia tidak kaya, makanya tidak ada yang melirik.
Ah, baper...
Tapi memang begitu kok kenyataannya. Menurut keterangan Wapres periode 2014-2019, Jusuf Kalla, Indonesia pernah menjadi salah satu negara termiskin di dunia. Bahkan lebih miskin dari Somalia. GDP-nya hanya US$85 saja.
Tapi itu sudah lama, sekitar tahun 1960.