Sindhunata selalu meyakini bahwa pembauran adalah satu-satunya jalan bagi keturunan Tionghoa Indonesia. Sebagai minoritas, ia tahu persis bagaimana pentingnya proses asimiliasi.
Tapi, ia melakukannya dengan cara tidak biasa. Perkawinan antar pribumi-Tionghoa dianggap sebagai cara yang paling alami. Keinginannya bergabung di militer juga terkait keyakinannya. Bagi dirinya, militer adalah proses menanamkan semangat nasionalisme yang paling kuat.
Sampai di sini si Om Jiming mungkin akan mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia pasti setuju. Tapi, tunggu hingga ia tahu kisah selanjutnya.
Sindhunata memiliki pandangan yang unik. Meskipun teman-temannya lebih memilih kata Tionghoa, Sindhunata justru mempromosikan penggunaan kata Cina.
Pada seminar Angkatan Darat ke-2 di Lembang pada tahun 1966, secara mengejutkan Sindhunata dengan gamblang memilih penggunaan kata Cina. Meskipun banyak yang tidak setuju, publik menganggap ia telah mewakili kaumnya.
Sindhunata sudah bulat, tidak ada yang bisa mengubah pandangannya. Bahkan pada saat pertemuan yang diprakarsai oleh CHI (Committee for Human Rights in Indonesia), Sindhunata masih bersikeras.
Baca juga:Â Siaw Giok-tjhan, Menteri yang Cinta Indonesia dengan Tetap Menjadi Tionghoa.
Pertemuan tersebut menghadirkan beberapa tokoh Tionghoa yang berpengaruh. Dalam pertemuan tersebut, seluruh peserta memilih Tionghoa. Hanya Sindhunata sendiri yang memilih Cina.
Aklamasi seharusnya terjadi, Tionghoa sudah pasti. Tapi laporan ke Jakarta, mayoritas peserta memilih Cina.
Lalu Inpres No.14 Tahun 1967 pun diterbitkan. Inpres legendaris tersebut memuat kata Cina sebagai pilihan negara.
Untungnya perayaan tradisi, adat istiadat, dan kebudayan Tionghoa tidak sepenuhnya dihanguskan. Masih bisa, asalkan sembunyi-sembunyi. Tapi, konsep awalnya tidaklah demikian.