Saya cukup sering mendengarkan ucapan, "lebih baik mencari karyawan yang jujur daripada pintar." Pernyataan ini umumnya terdengar dari bos yang baru saja dirugikan oleh karyawannya.
Saya bisa memahami, walau tidak sepenuhnya setuju. Maksud si bos yang nahas itu, ia kalah pintar dari si pegawai. Akhirnya ia kecolongan.
Tentunya istilah "pintar" disini mewakili kekesalannya. Si bos tidak benar-benar memuji si karyawan. Justru sebaliknya, ia merasa menyesal. Mengapa dirinya tidak lebih "pintar" dari si karyawan.
Tidak benar tidak salah juga sih. Si bos merasa kurang pintar karena telah memberikan kepercayaan yang salah. Akibatnya ia kecolongan.
Mari kita lihat dari sisi berbeda. Andaikan si karyawan berhasil menjaga harta perusahaan, bahkan lebih dari itu, ia bisa memberikan keuntungan yang berlipat ganda. Apakah si bos masih harus memilih antara jujur dan pintar?
Tidak perlu dijawab, kamu, kamu, dan kamu sudah tahu jawabannya.
Saya cukup sering berbincang dengan sesama teman pengusaha. Sebagian besar dari mereka tidak cukup puas dengan kinerja karyawan lama perusahaan. Akhirnya, terkadang mereka sampai harus merekrut tenaga segar dari luar pada posisi manajerial.
Sementara di sisi lain, karyawan lama ramai-ramai mengundurkan diri dan mencari peruntungan di perusahaan baru. Banyak juga yang sukses, meraih keberhasilan melalui kinerja.
Apa yang terjadi? Saya kemudian berkontemplasi.
Sekitar 60-65% pegawai saya sudah bekerja di atas lima tahun. Ada yang bahkan sudah lebih dari 25 tahun. Mereka adalah karyawan lama.
Apakah mereka jujur? Syukur alhamdulilah, dalam 5 tahun terakhir ini tidak ada kasus fraud yang terjadi di perusahaan.
Apakah mereka pintar? Perusahaan berjalan sebagaimana biasanya, tanpa perlu arahan lagi. Saya sendiri lebih banyak memberikan delegasi kepada staf-staf tertentu.
Saya bukannya puas atau bangga dengan struktur perusahaanku. Tapi ada hal penting yang saya warisi dari kedua orangtuaku. Mereka adalah pengusaha juga dan di usianya yang sudah 70an tahun, mereka masih berdagang.
"Siapapun yang jadi karyawan, mereka adalah bagian dari keluarga." Saya terus mengingatnya.
Hal tersebut saya praktikkan dalam keseharian. Saya harus jujur jika saya bukan tipe bos demanding. Meskipun terkadang juga tidak sabaran. Tapi, sebenarnya saya hanya mau pegawai harus melakukan apa yang saya inginkan, tidak lebih tidak kurang.
Nah, dengan pegawai-pegawai yang "cerdas" itu, lirikan mataku sudah menginstruksikan kerjaan. Alias mereka tidak perlu disuruh lagi. Tapi, agar mereka "jujur" maka hati inilah yang bergerak.
Di zaman bapakmu, pada saat bisnis masih sepi, semua karyawan adalah orang sendiri. Kalau bukan saudara, sepupu, atau tetangga dekat.
Mereka tidak perlu diawasi, karena sudah terpercaya. Eh, tidak demikian kali. Saudara sendiri juga bisa tidak jujur lho. Tapi, kakek saya punya prinsip, kalaupun uang perusahaan ditilep, itu kan orang sendiri juga. Relakanlah!
Amsiong (tepuk jidat)...
Jelas kakek saya tidak sepenuhnya benar. Dimana-mana korupsi bisa menggerogoti kesehatan finansial perusahaan. Jadi, dengan sedikit improvisasi saya pun memberikan sedikit aturan main yang lebih ringan.
"Jika anakmu mau sekolah, dan tidak ada uangmu, cari saya." Para pegawai sudah paham, dan itu sudah pernah kubuktikan.
"Kalau ada kamu butuh, bicara dengan saya," mereka pun sudah paham.
Kepada yang berpotensi tapi merasa karirnya terhambat di perusahaanku, saya tidak pernah segan-segan mendorong mereka untuk menjadi wiraswasta atau bekerja di perusahaan lain. Ini pun sudah terbukti.
"Tapi, jangan sesekali engkau menilep uang perusahaan, atau kau kupecat!" Mereka sudah paham dan itu pun sudah terbukti.
Apakah cukup efektif?
Salah satu tantangan terbesar bagi pengusaha adalah menyelaraskan tiga hal. Pendapatan, biaya, dan kebutuhan karyawan.
Terkadang bisnis sepi, tapi biaya tidak bisa dikurangi. Terkadang bisnis merugi, tapi hak karyawan tidak bisa dikebiri. Sebagai pimpinan, pusingnya bisa tujuh keliling.
Untungnya aturan main yang kuberlakukan selama ini cukup efektif bagi karyawan-karyawanku. Mereka sudah merasa seperti keluarga sendiri.
Jika bisnis sepi, karyawan yang cerdas akan menelpon pelanggan untuk menambah omzet. Pegawai yang jujur akan menghemat lampu, mesin pendingin ruangan, dan kulkas penyimpanan. Biaya listrik pun menurun drastis. Dan masih banyak lagi. Â
Dengan demikian, apakah pernyataan "lebih baik mencari karyawan yang jujur daripada pintar" masih relevan?
Bagi saya sih, saya tidak ingin kedua-duanya. Saya tidak ingin karyawan yang pintar dan jujur.
Yang saya butuhkan adalah anggota keluarga yang betah di perusahaan, mempunyai rasa memiliki, dan menganggap saya sebagai kakak dalam keseharian.
Memilih antara karyawan yang jujur atau pintar, sudah bukan urusanku.
**
Acek Rudy for Kompasiana
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H