Saya cukup sering mendengarkan ucapan, "lebih baik mencari karyawan yang jujur daripada pintar." Pernyataan ini umumnya terdengar dari bos yang baru saja dirugikan oleh karyawannya.
Saya bisa memahami, walau tidak sepenuhnya setuju. Maksud si bos yang nahas itu, ia kalah pintar dari si pegawai. Akhirnya ia kecolongan.
Tentunya istilah "pintar" disini mewakili kekesalannya. Si bos tidak benar-benar memuji si karyawan. Justru sebaliknya, ia merasa menyesal. Mengapa dirinya tidak lebih "pintar" dari si karyawan.
Tidak benar tidak salah juga sih. Si bos merasa kurang pintar karena telah memberikan kepercayaan yang salah. Akibatnya ia kecolongan.
Mari kita lihat dari sisi berbeda. Andaikan si karyawan berhasil menjaga harta perusahaan, bahkan lebih dari itu, ia bisa memberikan keuntungan yang berlipat ganda. Apakah si bos masih harus memilih antara jujur dan pintar?
Tidak perlu dijawab, kamu, kamu, dan kamu sudah tahu jawabannya.
Saya cukup sering berbincang dengan sesama teman pengusaha. Sebagian besar dari mereka tidak cukup puas dengan kinerja karyawan lama perusahaan. Akhirnya, terkadang mereka sampai harus merekrut tenaga segar dari luar pada posisi manajerial.
Sementara di sisi lain, karyawan lama ramai-ramai mengundurkan diri dan mencari peruntungan di perusahaan baru. Banyak juga yang sukses, meraih keberhasilan melalui kinerja.
Apa yang terjadi? Saya kemudian berkontemplasi.
Sekitar 60-65% pegawai saya sudah bekerja di atas lima tahun. Ada yang bahkan sudah lebih dari 25 tahun. Mereka adalah karyawan lama.