Sebuah iklan muncul di lini masaku. Menggugah nurani mengusik harga diri. Judulnya "otong 10 senti." Meskipun aku tidak lanjut membacanya, tetapi jelas jika iklan itu merujuk kepada sejenis pengobatan terhadap masalah "kelakian".
Terdiam sejenak, diriku menghela napas. "Syukurlah aku belum membutuhkannya," diriku membatin.
Mengapa iklan tersebut menggangguku? Karena sebagaimana semua lelaki di dunia, penis dipandang sebagai simbol maskulinitas. Padahal belum tentu juga demikian. Alias ukuran penis itu relatif. Sangat berhubungan dengan standar fisik dan ras.
Kendati demikian, moyang kita telah menyatakan persetujuannya terhadap hal ini. Dalam berbagai budaya, penis adalah hal yang sakral.
Penis yang besar dan sehat, dianggap sebagai senjata sakti setingkat dewa. Sebaliknya, kehilangan penis berarti kehilangan segala-galanya.
Tidak heran jika para leluhur dari tempatku dilahirkan memiliki sebuah istilah mengerikan, laso korog (koro). Dalam bahasa Bugis/Makassar, artinya adalah penis yang menjadi kecil. Istilah ini bukan hanya sekadar perumpamaan, ia benar-benar terjadi.
Literasi pertama muncul pada 1859. Sindrom penis mengerut bukan candaan. Ia muncul sebagai wabah, dan menimbulkan panik massal. Tapi, orang Belanda tidak langsung meyakininya. Mereka paham jika penis bisa mengerut akibat cuaca dingin, namun tidak oleh sebab lainnya.
Oleh sebab itu, sindrom ini kemudian dikategorikan sebagai penyakit pskiatris untuk budaya tertentu.
Namun, wabah ini juga menyebar luas hingga ke berbagai tempat lainnya di Indonesia.
Di Flores barat namanya adalah ru'u pota, artinya "sihir pengecil". Lalu di Sumba Timur, sindrom ini disebut dengan hei lulu, artinya "semuanya naik ke atas". Di daerah Belu, pulau Timor, namanya lulik oan subaran. Terjemahannya adalah "si kecil suci yang bersembunyi."