Acek baru saja ngomel ke istri tercinta. Hape terbaru yang ingin ia beli harganya dua kali lipat dari laptopku. Tidak masuk akal.
Mungkin saya termasuk orang yang jadul. Bayangan di kepalaku, diri masih kuat perkasa pada saat zaman bapakmu.
Saat itu, hape adalah barang baru. Hanya saja penggunaannya terbatas. Mungkin lebih tepatnya eksklusif.
Saya masih ingat tahunnya, 1997. Itu waktu dimana Erricson GF-388 pertama kali berada dalam genggaman. Harganya masih ingat. Tiga koma empat juta rupiah. Padahal UMP masih 250 ribu rupiah.
Nomornya pun mahal. Harus bayar 400 ribu rupiah untuk yang bukan angka cantik. Kalau mau yang banyak delapannya, duitnya tiga kali lipat. Mbohhh....
Tapi, rasa bangganya itu lho. Hape kebesaran, tidak muat di kantong celana. Pun kalau dipaksakan, seperti ada yang ngeres menonjol. Aih, malu.
Jadinya digantunglah pada ikat pinggang saja. Ada semacam tas penyimpan. Dari kulit pula, mantap!
Kalau berdering bunyinya kencang. Tidak kalah keras dari suaraku yang bilang, "HALLOOO."Â Biar orang sekampung dengar, kalau Acek muda ini dulu sudah punya hape.
Tapi, itu dulu. Sekarang hape sudah berjemaah. Satu orang punya satu hape. Kadang malah dua sampai tiga. Itulah mengapa Acek milih untuk tidak sering ganti-ganti hape. Yang penting masih bisa berfungsi, tidak perlulah diganti-ganti.
Tidak sama seperti di zaman dulu. Setiap kali ada yang terbaru, ganti dulu. Kenapa? Karena hingga saat ini, hape di zaman bapakmu tetap lebih unggul dari punya kamu, kamu, dan kamu.