Wabah sampar 1820 dan letusan Krakatau 1883 menjadi saksi bagaimana kelenteng Avalokitesvara ini menjadi tempat perjuangan masyarakat setempat untuk saling bahu-membahu melewati krisis bersama. Jejak reliefnya ada pada bagian luar, samping Kelenteng.
Semangat welas asih memang sangat terasa. Kelenteng tersebut telah menjadi simbol kebersamaan selama berabad-abad. Sesuai dengan makna nama Bantek-le -- Sejuta Kebaikan.
Kebaikan pun terasa, khususnya pada perayaan besar umat Tri-Dharma. Warga lokal datang bergotong-royong membantu persiapan di Kelenteng.Â
Lahan sekitar kelenteng dijadikan tempat untuk mencari rezeki. Para pedagang marak terlihat berjualan. Makanan khas Banten bisa dinikmati di sana. Sate bandeng, emping, gula kelapa, dan oleh-oleh kerajinan lokal.
Di dalam kelenteng ada klinik dengan harga murah. Warga lokal bisa ke sana untuk berobat. Pihak Kelenteng juga tidak segan-segan membantu perayaan pesta masyarakat sekitar. Tenda, kursi, dan berbagai peralatan lainnya bisa dipinjam tanpa biaya sewa.
Kerukunan ini terjadi selama 3 abad lamanya. Kerajaan Islam Banten telah menunjukkan betapa toleransi hidup beragama adalah hal yang penting pada masa itu. Seyogyanya ini sudah menjadi sebuah pesan, bahwa di Indonesia perbedaan agama bukanlah suatu hal yang harus diributkan.
Salam Maudilur Rasul bagi seluruh umat Muslim. Semoga keberkahan dan kebahagiaan senantiasa menyertai kita semua.
SalamAngka
Rudy Gunawan, B.A., CPS
Numerolog Pertama di Indonesia -- versi Rekor MURI