Menjelang masa pensiun Panglima TNI, Hadi Tjahjanto pada November 2021 nanti, Presiden Jokowi belum memutuskan penggantinya. Ada beberapa hal yang menjadi pertimbangan. Mulai dari isu global, khususnya di Laut Cina Selatan, hingga eskalasi politik dalam negeri menjelang Pilpres 2024.
Kendati demikian, beberapa nama telah mencuat. Yang santer terdengar adalah KSAD Jenderal Andika Perkasa. Namun, ada pula nama KSAL Laksamana TNI Yudo Margono dan KSAU Marsekal TNI Fadjar Prasetyo.
Semuanya menunggu keputusan presiden yang mungkin akan diumumkan bersamaan dengan reshuflle kabinet.
Namun, ada pula isu lain yang beredar. Berdasarkan informasi dari sumber (1), ada kemungkinan jika Andika akan ditempatkan sebagai Kepala BIN menggantikan Budi Gunawan (BG). Nantinya BG akan menjadi Menkopolhukam, dan Mahfud MDÂ akan menjadi Menteri Hukum dan HAM. Namun, isu ini masih liar.
Terkait dengan hal ini, timbul-lah pertanyaan-seberapa pentingkah posisi Kepala BIN bagi Presiden? Apakah ia memiliki bobot strategis yang sama dengan Panglima TNI?
Tentu kedua posisi ini tidak bisa dibandingkan. Secara struktural dan fungsi saja sudah berbeda.
Namun, menarik untuk mengetahui fakta bahwa sejak 2020, BIN telah resmi di bawah Presiden. Tidak lagi merupakan tugas koordinasi Kemenko Polhukam. Klien BIN hanya satu, yakni Presiden RI.
Sejak dibentuk pertama kali, badan intelijen negara ini telah enam kali ganti nama. Mulai dari Badan Istimewa pada tahun 1945, hingga resmi bernama BIN pada tahun 2016.
Di era Soekarno, badan ini tiga kali berganti nama. Badan Rahasia Negara Indonesia (Brani), kemudian Badan Koordinasi Intelijen (BKI), dan terakhir Badan Pusat Intelijen (BPI).
Kepala Intelijen Indonesia pertama adalah Kolonel Zulkilfi Lubis, hingga Soebandrio yang menjabat Kepala BPI. Isu yang berkembang pada saat itu adalah perang ideologi komunis-non komunis di tubuh militer.