Ali adalah warga Afghanistan. Namun, sejak Taliban berkuasa pada Agustus 2021 lalu, Ali tidak bisa lagi hidup tenang.
Ia tidak berani menggunakan nama panjangnya. Ali saja sudah cukup menggambarkan jika ia muslim. Karena jika tidak, maka ia akan menjadi sasaran teror.
Ali adalah minoritas Hazara. Sebagian besar dari mereka adalah penganut Syiah. Dari hampir 40 juta penduduk Afghanistan, jumlah mereka hanya berkisar 9% saja.
Mayoritas penduduk Afghanistan adalah Sunni. Mereka mencapai angka 90%. Sisanya adalah non-muslim yang terdiri dari Sikh, Hindu, dan Kristen.
Ali pantas berkecil hati. Sebelum invasi militer Amerika 2001, kaumnya sudah ditindas dengan brutal oleh pemerintah Islam garis keras Taliban. Kini, setelah pasukan AS ditarik mundur dari Afghanistan, bayangan buruk tersebut kembali muncul.
Mereka tidak yakin jika Taliban yang sekarang telah berubah. Di masa lalu, mereka telah terbiasa menyebarkan pesan maut kepada kaum minoritas yang tidak memiliki keyakinan yang sama.
Kendati demikian, masalah yang dihadapi oleh Ali dan kawan-kawannya masih lebih baik dibandingkan penganut minoritas agama lainnya. Bagi Taliban, non-muslim adalah Kafir. Mereka dianggap membawa pesan yang berbeda dengan kaidah Islam yang diyakini Taliban.
Teror yang disebarkan berupa pembunuhan, pelecehan, hingga perbudakan. Para lelaki dibunuh, kaum wanitanya diperbudak atau dijadikan istri setelah terlebih dahulu dipaksa pindah agama. Sementara anak-anak mereka dipaksa untuk mempertaruhkan nyawa di medan perang.
**
Kekhwatiran inilah dirasakan oleh Khalsa. Ia adalah segelintir Sikh yang masih tinggal di Kabul. Â Di Afghanistan, tidak banyak lagi penganut Sikh yang tersisa. Mereka sudah hampir punah. Sebagian besar telah berimigrasi ke India, Amerika, dan Eropa sewaktu Taliban berjaya pada 1990an.