Mereka melakukan banyak aktivitas. Sebagian berdagang, sebagian menjadi pekerja, dan sebagian lagi membuka warung makan. Tidak sedikit pula dari mereka yang berkeliling menjajakan makanan. Soto termasuk salah satunya.
Lantas, entah bagaimana, terjadilah asimilasi kuliner. Soto yang awalnya berisikan daging babi, kemudian diganti dengan daging halal lainnya. Begitu pula dengan rempah-rempah tambahan khas Indonesia, seperti kunyit, merica, cabe, jahe, atau lada.
Sementara masakan china asli tidak mengenal rempah nusantara dalam pengolahannya. Bumbu yang paling umum dalam masakan China adalah kecap ikan, saos tiram, bumbu ngohiang, pekak, minyak wijen, saos hoisin, dan taosi (kedelai hitam). Adapun yang paling mendekati bumbu Indonesia hanyalah bawang putih dan jahe. Sumber:Â cookin.id
Namun, masakan Hokkien memang punya cirikhas tersendiri dibandingkan masakan lainnya (Kanton, Hakka, dan Tiochiu). Makanan Hokkien mengutamakan teknik rebus, mengukus, braising (memasak perlahan), dan stewing (merebus perlahan).
Bandingkan dengan masakan Kanton yang menggunakan teknik deep frying (menggoreng), double boiling (merebus cepat), dan stir frying (tumis cepat).
Untuk itu, maka masakan Hokkien lebih terkenal dengan hidangan sup-nya. Ini mungkin yang menjadi satu-satunya jembatan antara China dan Nusantara mengenai eksistensi soto. Sama-sama menyajikan sup dengan teknik masak perlahan.
**
Masih penasaran dengan keberadaan Chau-do. Ia adalah masakan berkuah (sup). Tapi, tidak ada sup terkenal khas Hokkien, kecuali; Bak Kut Teh.
Kendati merupakan makanan Hokkien, masakan ini justru dilahirkan di Malaysia. Persisnya dari daerah Port Klang. Di China sendiri, jenis makanan ini malah tidak dikenal.
Menurut sejarah, makanan ini pertama kali dipopulerkan oleh kaum buruh China di Port Klang pada awal abad 20. Pada zaman tersebut, kehidupan susah, makanan pun sangat terbatas.