"Apa bedanya Soto dan Coto? Satunya pake daging sapi, satunya lagi pakai daging capi."
Ini adalah lelucon yang tidak lucu. Penyebabnya adalah huruf C pada Coto yang hampir mirip soto. Lagi pula sekilas hampir mirip. Sama-sama berkuah dan berisi daging.
Sebagai orang Makassar, saya tetap menganggapnya berbeda. Bukan hanya masalah pengejaan, tapi coto memang tidak ada duanya. Coto tidak berasal dari rumpun makanan soto-sotoan manapun.
Jika masih ada yang ngotot, marilah kita melihat beberapa faktanya;
Fakta 1:
Episentrum pertama coto berasal dari kerajaan Gowa. Awal kemunculannya sudah lama sekali, sejak abad ke-16. Sementara penyebaran soto baru teridentifikasi pada awal abad ke-19 di pesisir pantura.
Fakta 2:
Coto tidak pernah "menginfeksi" ayam. Sementara di mana ada soto, maka para ayam akan bersiap-siap menunggu ajal. Sementara coto lebih senang dengan sapi atau kerbau. Â Bahkan di daerah Jeneponto dan sekitarnya, kuda sudah biasa dijadikan coto. Sementara soto kuda, rasanya tidak mungkin ya?
Meskipun kedua varian ini sama-sama berasal dari China yang memiliki nama asli Chau-to, tetapi coto tidak pernah menyentuh babi. Sementara, konon para pedagang kuliner China yang mulai berdagang di Jawa awalnya menggunakan daging babi sebagai bahan daging pada soto.
Fakta 3:
Perbedaan yang lebih nyata bisa terlihat pada kuah. Varian soto menampakkan warna kekuning-kuningan, sementara coto lebih pekat dan kecoklatan.
Hal tersebut disebabkan oleh kandungan bahan dari keduanya. Soto menggunakan kunyit sebagai bahan utama, sementara varian coto menggunakan lebih dari 40 jenis rempah berbeda. Soto tidak sebanyak itu.
Fakta 4:
Dalam KBBI, coto didefenisikan sebagai sup khas Makassar dari jeroan dan potongan daging sapi atau kerbau. Jelas kata "khas Makassar" mengidentifikasi bahwa varian coto tidak sejahat soto. Mengapa? Karena varian ini hanya menyebar pada orang-orang Makassar saja.