Orde lama identik dengan komunis. Orde baru terkait dengan pemberantasan PKI. Anggota partai dienyahkan, tokoh sentral dilenyapkan, simpatisan disingkirkan.
Termasuk sekolah dan kampus yang dianggap sebagai pusat penyebaran idealisme berkedok pendidikan.
Penutupan institusi Pendidikan "kaum merah" dilakukan secara masif. Dimulai dari cara "halus" lewat Surat Keputusan Menteri Pendidikan dan Ilmu Pengetahuan (PTIP), hingga cara kasar melalui penyerangan dan pembakaran dari kelompok anti komunis.
Dari catatan sejarah, terhitung 14 Perguruan Tinggi Swasta yang ditutup, yakni: Universitas Rakyat Indonesia, Universitas Rakyat, Universitas Pemerintah Kotapraja Surakarta, Institut Pertanian EGOM, Akademi Ilmu Sosial Aliarcham (AISA), Akademi Ilmu Politik Bachtaruddin, Akademi Teknik Ir. Anwari, Akademi Jurnalistik Dr. Rivai, Akademi Musik W.R. Supratman, Akademi Jurnalistik dan Publisistik Taruna Patria, Akademi Ilmu Ekonomi Dr. Sam Ratulangi, Akademi Sastra Multatuli, dan Akademi Sejarah Ronggowarsito, dan Universitas Res Publica (URECA).
Jejak pendidikan komunis di Indonesia benar-benar lenyap dari bumi Indonesia. Tapi, tidak sisa keberadaannya. Terkhusus Universitas Res Publica.
Pada 6 November 1957, Menteri Pertahanan Kabinet Djuanda mengeluarkan larangan bagi WNI untuk belajar di sekolah asing.
Aturan ini nyata-nyata ditujukan pada sekolah Tionghoa yang banyak menampung warga keturunan. Akibatnya puluhan ribu murid sekolah tersebut terbengkalai.
Akhirnya Siauw Giok Tjhan, seorang tokoh pejuang dan politikus dari golongan Tionghoa Indonesia berinisiatif mendirikan Yayasan Pendidikan Baperki pada awal 1958.
Dalam waktu singkat, berdirilah ratusan sekolah di bawah Yayasan Baperki ini. Mereka berhasil menampung para siswa dari golongan Tionghoa. Kendati demikian, bagi para pelajar Tionghoa yang ingin melanjutkan kuliah, situasinya masih sulit.