Jalan Nusantara zaman dulu jauh dari kesan remang-remang. Tak satupun tempat esek-esek yang berada di sana. Kecuali sebuah lokasi yang berada di ujung jalan. Dekat dengan Fort Rotterdam yang terkenal.
Namanya Jambatang Bassi. Disingkat Jambas. Merupakan dermaga sederhana tempat berlabuh perahu ukuran kecil. Di sore hari, tempat itu sudah sepi.
Entah bagaimana, marak dengan tenda biru. Entah kapan, jadi tempat prostitusi terselubung.
Saya masih ingat Engkong memarahi Moktar. Ia adalah pegawai toko. Tersebab Moktar mengeluh sakit. Kelaminnya bengkak setelah berkunjung ke Jambas. Di sanalah baru aku tahu jika Jambas adalah tempat esek-esek.
**
Akhir tahun 80an, jalan Nusantara sudah mulai ramai. Semakin banyak toko yang bermunculan. Area Jambas pun mulai terlihat kumuh. Tidak pantas berada di daerah perdagangan.
Dianggap jorok dan sering menjadi pusat keributan, Jambas pun dirobohkan. Para PSK tidak lagi memiliki pangkalan. Mereka kemudian berpindah tempat. Di lorong-lorong kecil yang sepi dan gelap, masih di jalan Nusantara.
Beberapa pengusaha melihat peluang. Tempatnya yang kosong disewakan. Dibuatkanlah kamar-kamar kecil lengkap dengan tempat cuci-cuci. Ternyata, menarik minat banyak pelancong.
Para PSK yang biasanya sembunyi-sembunyi, kini mendapatkan markas baru. Jalan Nusantara memulai giatnya sebagai area remang-remang.
**
Awal tahun 90an, pemerintah meluaskan area Pelabuhan. Makassar menjadi kota metropolitan. Sederet rumah harus digusur. Termasuk toko keluarga kami.