Banyak yang mengira jika serangan bom atom di Hiroshima dan Nagasaki adalah bentuk balas dendam Amerika Serikat kepada Jepang atas serangan Pearl Harbour.
Ternyata bukan itu. Adalah tragedi Barisan Maut Bataan yang menjadi pemicu utamanya. Kekejaman perang yang dilakukan oleh tentara Jepang membuat militer Amerika yang terbiasa superior, mencapai titik terendahnya.
Yang membuat Jepang sebagai musuh yang berbeda adalah kekejamannya selama perang berlangsung. Mulai dari Jugun Ianfu hingga Romusha. Namun, apa yang terjadi di Filipina merupakan sebuah kisah kejahatan perang yang lebih mengerikan.
Beberapa saat setelah Pearl Harbour diserang, pasukan Jepang memutuskan untuk menyerang Filipina. Amerika sadar bahwa pertahanan militernya di negeri tersebut belumlah siap untuk pertempuran terbuka.
Mereka kekurangan personil militer. Baik dari sisi jumlah maupun pengalaman. Yang bisa mereka lakukan hanyalah menunggu. Strateginya, jika Filipina diserang, maka mereka akan mundur ke Semenanjung Bataan, dekat Manila sambil menunggu bantuan tambahan dari Angkatan Laut Amerika.
Sayangnya strategi ini disusun sebelum Pearl Harbour mendapat serangan. Kapal perang bantuan yang mereka harapkan tidak pernah muncul. Sudah jatuh ke dasar laut di kepulauan Hawaii.
Selama tiga bulan, tentara gabungan Sekutu dan Filipina masih bertahan dan mampu meladeni pertempuran sengit di bawah komando Jenderal Wainwright. Namun, pertarungan mengesankan tersebut harus berakhir setelah pasukan Jepang menambah kekuatan milternya.
Puncaknya ketika benteng pertahanan dikepung oleh pasukan Dai-Nippon dari segala arah. Kekuatan gabungan pasukan Amerika dan Filipina akhirnya menyerah.
Sekitar 75 ribu tentara kemudian menjadi tawanan perang Jepang. Mereka sudah berada dalam kondisi lemah akibat kekurangan gizi dan menderita penyakit tropis.
Sebagai pemenang, pasukan Jepang bermaksud untuk mengevakuasi tahanan ke kamp tahanan Cabanatuan yang berlokasi sekitar 131 kilometer dari daerah pertempuran.