Sewaktu duduk di bangku SMP, aku menjadi anak revolusi. Tersebab si Musi tidak berfungsi. Ia pun dicopot oleh wali kelas, dan aku menjadi ketua kelas.
Alangkah naifnya, menerima mentah-mentah pesan guru kelas. Aku disuruh untuk mencatat nama-nama murid yang bertingkah pada saat kelas sedang takada guru.
Awalnya aku berhasil. Budi yang terkenal badung, hingga Edi yang terkenal pemalas mulai kena getahnya.
Suasana kelas pun menjadi lebih tenang. Budi hingga Edi tak lagi berulah. Seharusnya aku turut tenang. Takada lagi teman kelas yang bertingkah.
Tapi, guru kelasku tetap memintaku untuk melaporkannya setiap hari. Mungkin ia tak percaya jika takada murid yang tak badung.
Alhasil, otakku mulai mencari "masalah." Ani yang kedepatan merenung hingga Wati yang sering dirudung pun masuk dalam catatanku.
**
Ini adalah sekelumit kisah, bagaimana wewenangku dapat dengan mudah "mencari" masalah. Padahal, mungkin saja semuanya akan baik-baik saja jika aku tak menjadi ketua kelas.
Lalu, ketika aku duduk di bangku kuliah. Watanabe, teman se-kos menyatakan kekagumannya terhadap berita-berita di televisi Amerika. Katanya seru, tidak beda jauh dengan film-film Hollywood. Mulai dari penembakan di jalan, hingga kasus orang hilang.
Tidak sama seperti di Jepang. Di negara yang relatif aman pada masa itu, tetangga yang mencuri daleman wanita bisa menjadi breaking news.
Lantas, apakah hal ini membuktikan mengapa banyak masalah dalam hidup yang tak pernah habis-habisnya? Ternyata ada sebuah fakta yang unik dalam diri kita.
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!