Pandemi Covid-19 banyak mengubah kebiasaan. Termasuk penggunaan barang-barang baru yang dulunya jarang disentuh. Salah satunya thermogun, alat pengukur suhu dengan sinar inframerah.
Pagi ini aku sedang berada di toko. Memperhatikan pegawai yang mengecek suhu pelanggan dengan thermogun. Yang "ditembak" adalah tangan. Bukan kepala.
Namun, kubiarkan. Sebabnya "nembak" di kepala sudah banyak yang protes. Katanya sih tidak sopan. Ada juga yang percaya jika sinar inframerah dari thermogun bisa membahayakan otak. Semua itu hoax.
Saya masih ingat. Waktu pandemi mulai merebak, thermogun kubeli seharga 1,2 juta rupiah. Kini di toko online hanya sisa beberapa ratus ribu saja.
Pun penggunaanya tidak lagi disiplin. Saya melihat banyak tempat komersil yang dulunya rajin, sekarang sudah mulai kendor.
Memang pemerintah masih sangat menyarankan penggunaan alat ini. Tersebab salah satu gejala Covid adalah demam yang tinggi. Ada saja masyarakat yang tidak paham. Tetap berada di luar, kendati sudah terserang demam.
Apakah pengukuran suhu masih efektif? Sempat aku iseng melihat beberapa kali hasil tembakan di tangan. Angkanya berkisar 32 hingga 33 derajat. Apalagi aku baru saja selesai cuci tangan. Aku sudah setara mayat.
Penting untuk diketahui jika pengukuran suhu melalui thermogun di tangan atau lengan sangat tidak efektif. Tidak usah jauh-jauh. Kita tidak pernah memegang tangan anak kita jika ia demam. Yang dipegang adalah kepala, dan paling banter, leher.
Lucunya lagi, thermogun di rumah selalu disasarkan di kepala. Tapi, di tempat umum kita tidak mau melakukannya. Ambyar dah.
Kalau yang masih bebal, nih, baca tulisan dari Kompas.com
Ini adalah contoh, bagaimana manusia kehilangan logikanya jika berhadapan dengan masalah ego. Diri itu superior. Tidak mau dikalah. Atau paling tidak, selalu merasa baik-baik saja.