Hio banyak ditemukan pada kelenteng maupun acara kebudayaan orang Tionghoa penganut paham tradisi. Bentuknya menyerupai batang yang dibakar dan mengeluarkan asap.
Hio bukan dupa, sebabnya ia memang bernama Hio. Secara harafiah artinya harum. Dan memang mengeluarkan aroma harum jika dibakar.
Jika berkunjung ke toko yang menjual perlengkapan sembahyang Tionghoa, banyak jenis, warna, dan ukuran hio yang bisa ditemukan.
Walau pun demikian, hio hanya digunakan untuk satu tujuan saja, yaitu sembahyang. Entah kepada dewa-dewi atau arwah leluhur yang telah mendahului.
Caranya sih mudah. Cukup mengangkat hio ke depan wajah dan sematkan harapanmu. Niscaya doa terkabul, aman, Makmur, dan sejahtera. Selanjutnya tinggal ditancapkan pada wadah yang tersedia di hadapan altar.
Meskipun kelihatannya mudah, tapi tidak juga. Banyak aturan main yang tak tertulis. Saat ujung hio dibakar, api masih menyala. Jangan pernah ditiup, konon akan menghilangkan hoki. Cukup dikibas-kibas dengan tangan.
Pada umumnya, hio hanya terdiri dari dua warna. Merah dan coklat kekuningan. Tapi, ada juga warna lain. Biasanya sih tidak ada aturan main yang pasti. Namun, ada juga yang menganggap jika warna coklat kekuningan biasanya digunakan untuk pemujaan Tuhan dan Dewa langit. Sementara merah untuk Dewa bumi dan para leluhur.
Untuk ukurannya sendiri biasanya berhubungan dengan durasi. Semakin besar ukuran hio, semakin lama waktu bakarnya. Oleh sebab itu, hio ukuran besar biasanya digunakan pada upacara khusus atau waktu-waktu tertentu.
Pertanyaan berikutnya, berapa banyak batang hio yang digunakan untuk bersembahyang? Berikut aturannya;
Satu Batang Hio adalah Esa
Orang Tionghoa meyakini bahwa Tuhan adalah Esa adanya. Sembahyang dengan menggunakan satu batang hio adalah perwujudan rasa hormat kepada sang pencipta.
Namun, bisa juga berarti usaha yang kuat dari sang pendoa untuk mewujudkan niatnya. Doa yang disertai biasanya berisikan satu jenis permintaan, harapan, atau pun tekad.Â