Selfie atau Swafoto sudah menjadi hal umum. Wajah diunggah di media sosial. Tujuannya untuk aktualisasi diri.
Tapi, kalau sudah berlebihan, namanya sudah berubah menjadi Selfitis. Istilah medis yang menggambarkan orang yang terobsesi melakukan kegiatan selfie.
Dampaknya pun bermacam-macam. Mulai dari kepuasan semu, hingga rasa cemas berlebihan. Mempengaruhi pekerjaan hingga hubungan sosial.
Meski terkesan umum, secara jangka panjang kebiasaan ini dapat mengganggu kesehatan jiwa. Narsitik datang mengintai. Aktualisasi berubah menjadi gangguan kepribadian. Seseorang akan menganggap dirinya sangat penting dan harus dikagumi.
Akibatnya pujian orang lain menjadi kebutuhan. Empati akan berkurang dan tak peduli dengan perasaan orang lain. Tidak lupa juga arogansi datang menyertai.
Resiko Selfitis akan semakin membesar jika tidak diobati. Penderitanya rentan depresi, meski untuk hal-hal kecil, seperti komentar tidak menyenangkan di medsos. Lebih parah lagi, perilaku ini dapat mengancam jiwa.
Sebuah studi dilakukan di India sebagai negara terbesar pengguna facebook. Sejak tahun 2014, sedikitnya 76 kematian akibat aksi selfie. Bunuh diri akibat depresi menempati daftar teratas. Diikuti dengan perilaku berbahaya untuk melakukan swafoto, seperti di rel kereta api, berpose dengan senjata tajam, dan jatuh dari ketinggian.
Nah, bagi kalian yang mengidap selfitis, ada baiknya memahami sejarah selfie ini sendiri.
Perilaku ini memang muncul seiring dengan perkembangan teknologi ponsel pintar dan internet. Namun perkembangan teknologi dunia maya ini tidak serta merta melahirkan istilah selfie.
Hingga akhirnya seorang warga Australia mabuk beraksi. Di pesta ulang tahun temannya, ia terjatuh. Bibirnya pecah dan robek. Foto pun diunggahnya. Bukan wajahnya yang tampan, tapi bibirnya yang mengerikan.
Dalam unggahan tersebut ia menambah kata-kata; "Aku punya luka robek sepanjang 1 cm di bibir bawahku, maafkan fokus fotonya. Ini adalah selfie,"