Dewa Kwan Kong dalam balutan baju Sinterklas. Tidak masalah, karena pada dasarnya keteladanan ksatria yang ia contohkan adalah wujud dari rasa toleransi. Bukannya makna dari kisah-kisah natal juga penuh dengan balutan kasih dan sayang? Apa bedanya?
Beberapa tahun yang lalu, ada kejadian dimana seorang tentara Amerika tanpa sengaja merobek dan membuang Kitab Suci agama tertentu ke dalam toilet. Berita tersebut heboh dan sang tentara dituduh telah melakukan penistaan agama ekstrim.
Tak lama kemudian, Ajahn Brahm, seorang Bhikkhu di Australia ditelepon oleh seorang wartawan Australia mengenai isu ini.
"Ajahn Brahm, apa yang akan Anda lakukan seandainya ada orang yang merobek lembaran Tipitakan dan membuangnya ke toilet?"
Dengan entengnya beliau menjawab, saya akan memanggil tukang ledeng untuk membersihkan dan mengangkat kitab tersebut, agar toilet tidak mampet. Beliau kemudian melanjutkan;
"Kalian bisa saja membuang Kitab Suci ke dalam toilet, tetapi saya tidak akan membiarkan kalian membuang pengampunan, kedamaian, dan welas asih ke dalam toilet. Buku bukanlah Agama, demikian juga dengan patung, bangunan dan para pemuka agama. Ini semua hanyalah 'kontainer'."
Inilah konsep Ketuhanan yang saya yakini. Hal yang saya dengarkan dari seorang rohaniawan Buddha yang sama yang memberikan penghormatan di depan patung Yesus Kristus.
Pada saat Ajahn Brahm diminta membawa ceramah di Christ Grammar School, Australia, beliau dijelaskan tentang urutan acara yang harus diikuti oleh seluruh peserta. Salah satunya adalah membungkuk hormat ke altar Yesus.
Namun kepala sekolah berkata kepada Ajahn Brahm, "Karena Anda adalah seorang bhikkhu, maka Anda tidak perlu membungkuk!"
Mendengar itu, Ajahn Brahm memberikan jawaban;
"Ada sesuatu dalam altar itu, dalam figur Yesus yang bisa saya hormati. Itulah yang saya hormati dan hargai. Saya tidak membungkuk pada semua aspek pada altar itu, sebab ada beberapa hal yang tidak saya setujui, namun ada cukup banyak yang saya hargai, dan saya akan membungkuk pada apa yang saya hargai."