Kembali kepada pertanyaan, apakah kostum sinterklas Dewa Kwan Kong mengusik perasaanmu? Itu urusanmu.
Bagi saya sendiri, prinsip dalam memuja Dewa Kwan Kong, tidak terbatas hanya kepada patung saja. Patung mungkin kelihatan sakral bertenger di tengah altar. Namun patung adalah patung.
Sebagian mungkin bisa merasakan energi yang kuat dari patung itu sendiri, hingga tidak berani bersikap kurang ajar. Namun sekali lagi, patung adalah patung.
Saya pernah membaca sebuah artikel lama dari seorang Bhikkhu. Saya sudah tidak bisa lagi mengingat judul maupun pematerinya. Isinya adalah tentang Tuhan dan Ketuhanan (God and Godness).
Sang Bhikkhu berkata, "Tuhan tidak absolut, yang absolut adalah Ketuhanan."
Sebabnya seseorang bisa mengatakan bahwa Tuhannyalah yang paling benar. Ia mampu melakukan apa saja demi melawan hinaan kepada Tuhannya. Ia mampu mempertaruhkan nyawanya demi martabat Tuhannya. Ia mampu mencetuskan perang besar demi nama besar Tuhannya.
Namun, apakah ia sadar bahwa inilah yang benar-benar diharapkan oleh Tuhannya? Jika iya, apakah ia pernah berbicara dengan Tuhannya? Mungkin tidak penting, karena ia sendiri tidak perlu izin Tuhan untuk mengobrak-abrik isi hatinya yang egois.
Saya tidak bermaksud menghina, karena Tuhan yang saya kenal adalah Tuhan dengan segala Ketuhanannya, atau sifat-sifat agung yang dimilikinya.
Tuhan maha pengampun, maha penyayang, maha pengasih, dan segala maha-maha lainnya. Jika engkau mengagungkan Tuhan, maka seharusnya apa yang patut diteladani dari diriNya, itulah yang akan menjadi pegangan hidupmu.
Aku seharusnya tidak berdamai dengan kekesalan, tidak membuka ruang negosiasi dengan kebencian, tidak menimbun harta kerakusan. Aku tidak bisa memuji Tuhan, karena tidak yakin apakah Ia bisa mendengarkanku. Namun, terima kasih Tuhan, atas segala wujud kebaikan yang telah aku yakini dari diri-Mu.
Inilah konsep Ketuhanan yang absolut.