Ricky Gunawan menjelaskan lebih detail kasus yang dialami oleh Jeff. Menurut Ricky, Jeff mengaku ia dijebak oleh rekannya, Kelly, seorang terpidana kasus narkoba yang sudah meninggal.
Suatu sore polisi menggeledah rumah Jeff dan menemukan heroin di bawah kasur. Jeff menolak barang tersebut adalah miliknya karena tidak pernah tidur di sana. Ia pun ditangkap polisi dengan tuduhan sebagai bandar narkotika.
Jebakan ini baru diketahui saat Kelly berada di penjara. Ia pun mengaku kepada hakim bahwa ialah yang meletakkannya di sana, lantaran benci kepada Jeff. Sayangnya PK tersebut ditolak oleh MA dengan alasan hanya pernyataan sepihak dari Kelly. (tirto).
Kesalahan Penerjemahan Kasus Mary Jane
Kejadian perlindungan hukum yang diskriminatif juga dialami oleh Mary Jane Veloso asal Filipina. Ia divonis hukuman mati pada tahun 2015 karena membawa 2,6 kilogram heroin di tasnya.
Saat persidangan, Mary kesulitan menerjemahkan pernyataan dan pertanyaan hakim karena penerjemah yang disediakan tidak kompeten. Penerjemah yang ditunjuk masih berstatus mahasiswa di Sekolah Tinggi Bahasa Asing di Yogyakarta.
Ketika hakim menanyakan "apakah kamu ada penyesalan telah membawa heroin", Mary Jane dengan tegas mengatakan "No", karena penerjemahnya mengatakan "apakah kamu membawa heroin." (tempo)
Hak untuk Hidup bagi Terpidana Mati
Jalan menuju hukuman mati bagi terpidana, tidak sesederhana dari apa yang dibayangkan secara umum. Kematian adalah akhir, namun penderitaan selama masa penantian menjadi hal yang lebih prihatin lagi. KONTRAS merilis hasil penelitian mereka terkait kondisi lapas bagi terpidana mati. Hasilnya: Kondisi tidak layak dan bikin sakit.
Peneliti KONTRAS, Arif Nur Fikri melaporkan "baik petugas lapas maupun para terpidana mengeluhkan minimnya pemenuhan hak atas kesehatan, baik fisik maupun mental. "Â (tirto).
Seorang narapidana mati di Lapas Narkotika Pulau Nusakembangan dilarang mendapatkan obat dari luar lapas, sekalipun mereka membutuhkan layanan khusus. Terpidana mati dianggap sudah mati dan tidak pantas lagi untuk mendapatkan perlakuan layaknya orang yang masih hidup.
Sejumlah lapas juga tidak memberikan layanan konseling, meskipun penyakit mental yang diderita oleh terpidana mati sudah termasuk parah. Pada umumnya mereka hanya mengarahkan ke rohaniawan, seolah-olah memohon ampun atas dosa-dosanya menjadi hal yang paling penting sebelum kematian menghampiri. (tirto).