Sejak kecil penulis sudah mendapat nasehat dari kedua orangtua. Jangan pernah ngutang! Tapi nasehat adalah nasehat, sekarang penulis memiliki utang di mana-mana. Kalau mau liat sisi positifnya, negara saja mengutang, mengapa kita tidak? Ya, alasan mati!
Utang ini memang ngeri-ngeri sedap. Ia bagaikan candu di tengah siang bolong.Â
Pada saat otak lagi mampet dan kantong sedang kepepet, bantuan duit dari teman enaknya selangit. Namun jika tenggatnya sudah tiba dan rezeki belum kunjung singgah, kue lapis legit pun rasanya menjerit.
Tidak heran jika ada beberapa keyakinan yang melarang manusia berutang, katanya sih haram. Untuk ini, penulis setuju sekali.Â
Utang yang tidak diatur dengan baik bisa beranak-pinak menghasilkan ribuan kesengsaraan. Walau demikian, utang juga tidak bisa dicegah. Ia adalah bagian dari pernak-pernik kehidupan yang selalu ada.
Rasio kekayaan selalu dilhat dari besarnya asset yang dimiliki versus utang yang dikantongi. Kalau jumlah aset lebih besar, maka seharusnya aman.Â
Akan tetapi jangan lupa mempertimbangkan rasio likuiditas juga, seperti uang tunai, emas, atau surat berharga lainnya yang segera bisa ditunaikan. Jika ternyata likuiditas jumlahnya lebih sedikit dengan kebutuhan, maka disanalah aspirin diperlukan.
Percakapan mengenai utang ini menjadi menarik ketika penulis bertemu dengan Mas herwiratno, yang disebut sebagai Sang Pembawa Misi Jiwa.Â
Beliau telah menulis 4 buku yang berhubungan dengan pengetahuannya mengenai korelasi jiwa-jiwa penghuni semesta.
"Utang itu ada rohnya lho, Koh Rudy. Ia bagaikan apapun yang ada di sekitar kita. Manusia, hewan, tanaman, meja, buku, dan lain sebagainya."
Jangan sinis dulu. Penulis sependapat, namun dengan cara yang berbeda. Bagi penulis, segala sesuatu di semesta ini yang dapat memengaruhi perasaan, pikiran, dan tindakan, maka ia memiliki energi. Nah, inilah yang dimaksud dengan "roh" oleh Sang Pembawa Misi Jiwa.