Banyak yang melihat sisi gender dalam bentuk yang sangat sederhana, jenis kelamin! Demikian pula dengan stereotip fungsional. Wanita memasak dan lelaki bekerja mencari nafkah.
Pun halnya dengan jenis pekerjaan yang masih juga dipandang dari sisi yang sempit. Wanita yang bekerja sebagai tukang listrik adalah hal yang aneh. Lelaki sebagai make-up artis langsung dituduh 'gemulai'.
Padahal sifat atau karakter seseorang tidak begitu sederhana dilihatnya. Sifat maskulin dan feminin pada dasarnya dimiliki oleh setiap insan tanpa memandang jenis kelaminnya.
Cara pandang manusia zaman dulu terhadap konsep gender adalah sesuatu hal yang mungkin bisa menjadi referensi. Mereka tidak mendefenisikan gender dalam bentuk yang sempit. Kenyataan yang ada telah mengajarkan mereka terhadap sesuatu hal yang tak bisa dipungkiri lagi.
Kebudayaan tradisional Bugis di Sulawesi Selatan mengakui adanya golongan Bissu yang dianggap sebagai separuh manusia dan separuh dewa dan bertindak sebagai penghubung kedua dunia. Mereka mewakili peran empat gender sekaligus, yaitu Oroane (lelaki), Makunrai (perempuan), Calalai (perempuan yang berpenampilan seperti lelaki) dan Calabai (Lelaki yang berpenampilan seperti wanita).
Begitu pula dengan beberapa kebudayaan lainnya seperti, Muxe di Mexico, Kathoey di Thailand, Fa'afafine di Samoa, Hijria di India, dan istilah psikologi Genderqueer. Semuanya mewakili kenyataan bahwa gender bukan hanya dua jenis saja, sebagaimana jenis kelamin manusia.
Sifat tersebut juga tidaklah mewakili preferensi seksual. Sekali lagi, karakter yang terbentuk tidak eksklusif berdasarkan fungsi kelamin dan sama sekali tidak berhubungan dengan preferensi seksual.
Baca juga: Genderqueer, Bukan Pria, Bukan Wanita, Bukan pula LGBT.
Nah, kita tentu memahami hal ini. Kenyataan bahwa perempuan yang lebih suka dengan rambut pendek dan bercelana panjang, atau lelaki putih bersih senang dengan perawatan ala boyband, sama sekali tidak bisa dipungkiri.
Kontradiksi karakter ini banyak yang dapat terlihat dengan jelas, namun kita lebih sering tidak menyadari seberapa lembut si Atong dalam diri kita, dan mengapa wanita cantik bergaun kadang lebih suka main layangan daripada boneka.
Bagaimana dengan diri kita? Apakah kita memiliki sifat feminin dan maskulin yang berimbang? Atau apakah kita termasuk lelaki dengan sifat feminin atau wanita dengan sifat maskulin yang dominan?