"Saya tidak akan hidup lama, pada usia 25 tahun saya sudah akan mati. Meskipun saya mati, saya tidak mati. Saya terbang ke bulan."
R.A. Kartini pernah meramalkan bahwa hidupnya tidak akan melewati usia 25 tahun, dan insting kuat darinya juga mengatakan bahwa perjuangannya akan diteruskan oleh adiknya yang akan berumur panjang.
"Dik Kardinah nanti yang akan meneruskan idam-idaman saya."
R.A. Kardinah Reksonegoro, namanya. Tidak banyak yang diketahui oleh publik, sebagaimana kartini-kartini lainnya yang tidak banyak terungkap. Namun sepanjang sejarah, ia telah berjuang demi emansipasi dan kecerdasan bangsa.
Pesan ini disampaikan oleh Kartini sebelum ia dan sang adik berpisah rumah pada tahun 1904, karena dipinang. Ucapannya terbukti benar, pada tanggal 17 September 1904, Kartini menghembuskan nafasnya yang terakhir, pada usia 25 tahun. Hingga kini, belum diketahui apa penyebab kematiannya.
**
Seorang lelaki datang ke Kadipaten, sangkar emas bagi Kartini dan adik-adiknya untuk berbagi suka dan duka. Ia adalah Raden Mas Haryono, putra dari Bupati Tegal, Pangeran Ario Reksonegoro. Ia adalah seorang pejabat Patih Kadipaten Malang. Pernikahan Kardinah dengan lelaki beranak tiga itu terjadi pada 24 Januari 1902.
Kartini sempat bertemu lagi dengan Kardinah pada saat mengunjungi kakak mereka, Soelastri. Saat itu Kardinah telah menghabiskan waktu dengan membangun sekolahnya sendiri. Sebuah perjuangan yang pernah ia impikan bersama Kartini dan Rukmini, yang mereka sebut sebagai cita-cita Het Klaverblad, atau julukan bagi Tiga Saudara dari Nyonya Ovink-Soer, istri asisten residen Jepara.
Kepekaan sosial Kartini dan saudarinya memang ditularkan oleh ayahnya. Di saat mereka kecil, sang ayah sering membawa mereka meninjau tempat-tempat penderitaan rakyat. Semuanya dimaksudkan agar para putrinya memahami susahnya hidup dalam kemelaratan.
Kehidupan pernikahannya tidak membuatnya menjadi wanita yang terpasung. Seluruh usahanya ke arah modernisasi, mendapat dukungan penuh dari suaminya. Ditambah lagi statusnya yang cukup tinggi di masyarakat Jawa kala itu sebagai nyonya Bupati Tegal. Ia yakin posisi sosialnya memiliki tanggung jawab untuk memberi perbaikan kepada masyarakat.