Mohon tunggu...
Acek Rudy
Acek Rudy Mohon Tunggu... Konsultan - Palu Gada

Entrepreneur, Certified Public Speaker, Blogger, Author, Numerologist. Mua-muanya Dah.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Jodoh Ada di Mana-mana, Termasuk di Tangan Orangtua

20 Oktober 2020   05:47 Diperbarui: 20 Oktober 2020   05:50 660
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Janganlah mengidolakan Sitti Nurbaya, ataupun kisah Sam-pek Eng-tay yang berakhir tragis. Mereka hanya milik para moyang yang masih gemar kursi goyang. Perjodohan keluarga memang kelihatan lancang, namun bukan berarti usang.

Jika kamu hidup 100 tahun lebih awal, maka jangan harap kamu mengenal istilah "nge-date". Pokoknya jika saatnya tiba, maka bersiaplah untuk menerima jodohmu apa adanya.

Di zaman dulu, perjodohan keluarga adalah hal yang sangat sakral. Tujuannya adalah untuk menjaga keutuhan keluarga agar status tahta dan harta tidak akan lari kemana-mana.

Namun cobalah di zaman sekarang, anak-anak pasti akan mengerutkan dahi jika orangtua mengusulkan seorang pria atau wanita idaman versi mereka.

"Hello... Zaman Twitter dan Tinder gini lho..."

Padahal, belum tentu jodoh orangtua itu jelek. Lagipula, sebagai orangtua yang mencintai anak-anaknya, mereka pasti sudah memiliki standar yang tinggi bagi anak-anaknya bukan?

Nah, sebenarnya apa sih pemicu bagi para orangtua untuk menjodohkan anak-anaknya?

Pertama, Motivasi Keluarga.

Perlu diketahui bahwa motivasi perjodohan orang zaman dulu adalah untuk menjaga marwah keluarga. Strata yang sederajat adalah hal yang penting agar kedudukan sosial tidak terdegradasi.

Selain itu, pernikahan dini marak terjadi sehingga anak-anak dianggap belum bisa mengambil keputusannya sendiri. Anggapan yang umum terjadi adalah apa yang direstui oleh orangtua, adalah merupakan hal yang terbaik bagi anak-anaknya.

Nah, tidak dapat dipungkiri pandangan seperti ini masih ada terjadi di masa kini. Yang jelas penyebab utama dari perjodohan keluarga adalah rasa khwatir para orangtua terhadap masa depan anak-anaknya.

Kedua, Sibuk Mengejar Karier

Mengejar karier dan pekerjaan yang bagus adalah modal utama dalam kehidupan. Tidak ada waktu untuk mencari cinta, karena semuanya hanya akan menghambat perkembangan karier.

Pria berprinsip bahwa wanita akan lebih mudah tertarik dengan lelaki mapan, sementara kaum perempuan berpikir bahwa ia harus menjadi wanita mandiri sebelum menikah agar tidak sepenuhnya bergantung pada suaminya nanti.

Tanpa disadari pola pikir ini yang akan menimbulkan keengganan untuk cepat-cepat kawin. Jika dibiarkan terus menerus maka orangtua akan menjadi khwatir sehingga perjodohan keluarga dianggap sebagai opsi yang paling masuk akal.

Ketiga, Kebebasan adalah Segalanya

Kehidupan sebagai suami dan istri tidak melulu bahagia terlihat, sebagian orang justru merasakannya sebagai beban. Akibatnya, ada yang berprinsip untuk menikmati kebebasan, travelling, atau menekuni hobi sebelum terjerembab dalam tanggung jawab yang tak berkesudahan.

Bagi mereka, pernikahan adalah sebuah komitmen yang mengikat. Banyak hal yang tak bisa dilakukan lagi, jika sudah berstatus keluarga. Tanggung jawab sebagai suami atau istri adalah dunia yang betul-betul berbeda.

Hingga tibalah saatnya...

Layaknya kesehatan, jika penyakit sudah datang menyerang, maka menyerahkan nasib kepada para ahli adalah jalan yang terbaik. Begitu pula dengan masalah jodoh. Jika sudah tidak laku-laku, maka perjodohan keluarga mungkin adalah jalan keluar yang terbaik.

Sebelum menutup semua pintu hati, ada baiknya merubah paradigma. Siapa tahu saja perjodohan keluarga justru memberikan manfaat yang tidak kalah hebat? Apa saja itu, mari kita ulik bersama.

Restu Orangtua

Orangtua adalah segalanya. Ia tidak akan membiarkanmu menderita. Meskipun selera mereka adalah rengginang dalam kaleng Khong-guan, paling tidak itu adalah selera sepanjang masa ketimbang Korean Cream Cheese yang musiman.

Perjodohan keluarga tentu terjadi karena adanya hubungan dekat yang jauh sebelumnya. Pertimbangan yang diberikan tentu berdasarkan kualitas keluarga yang terpilih. Harus diingat, bahwa bagi orang Indonesia, pernikahan dua insan, sesungguhnya adalah pernikahan dari dua keluarga besar.

Nah, keuntungan bagi kamu adalah pasti mendapatkan pasangan yang baik di mata keluarga. Orangtua kamu pasti akan menghormati pasanganmu, dan begitu juga sebaliknya. Dan yang terpenting, bukankah membahagiakan orangtua adalah amalan yang tinggi?

Mengurangi Proses yang Panjang

Saat ini, diri mungkin terlalu sibuk untuk mencari calon suami atau istri. Atau bisa juga lagi malas karena trauma masa lalu. Nah, perjodohan keluarga mungkin bisa menjadi alternatif di sini.

Mengurangi proses yang panjang dan berbelit-belit. Serahkanlah masalah kamu kepada kedua orangtua. Mereka akan dengan senang hati membantunya.

Terkesan kuno? Mari kita membandingkannya dengan aplikasi pencari jodoh semacam Tinder.

Salah satu alasan mengepa aplikasi pencari jodoh itu disenangi? Karena sangat membantu diri kita untuk menemukan pasangan tanpa perlu menghabiskan uang bensin.

Selain itu, karena banyaknya pengguna di sini, maka kebebasan memilih-milih tentu menjadi sebuah kesenangan tersendiri. Jika tertarik, bisa mulai kopi darat. Jalan berduaan sekali dua kali, sebelum memutuskan hubungan yang lebih serius lagi.

Lha, apa bedanya dengan perjodohan keluarga? Sama-sama memudahkan, sama-sama menghemat tenaga, lagipula tidak ada juga paksaan untuk langsung menikah bukan?

Bahkan perjodohan keluarga memiliki fitur yang lebih canggih lagi, yaitu aplikasi untuk mengecek bibit bebet bobot. Sebuah kemewahan yang tidak bisa dideteksi oleh Tinder.

Mencegah Hubungan yang Tidak Pasti

Sepanjang tidak ada paksaan untuk segera menikah, maka masih banyak waktu yang tersisa untuk saling mengenal dan memahami.

Namun jika semuanya telah menjadi, maka melangkah ke pelaminan hanyalah sebuah kedipan mata. Tidak perlu khwatir seperti si Anu dan si Ani yang masih belum jelas statusnya, meskipun sudah pacaran belasan tahun lamanya.

Lagipula campur tangan kedua keluarga yang merestui biasanya akan lancar-lancar saja. Calon pengantin tidak perlu terlalu repot untuk memikirkan hal-hal ribet urusan pengantin. Pokoknya sisa pasang badan dan beraksi di malam pertama.

Belajar Menerima Kenyataan

Rintangan terbesar dalam perjodohan keluarga adalah masalah stigma. Budaya modern telah merasuki pikiran bahwa perjodohan orangtua adalah sebuah pelanggaran HAM berat.

Rasa malu kepada teman, rasa khwatir terhadap perasaan, hingga rasa takut akan kegagalan cinta, hanya akan membuat daftar penolakan yang belum tentu benar.

Padahal perjodohan bukanlah hal yang memalukan. Banyak hal yang bisa dieksplorasi jika diri tenang dan mau menerima sisi baik dari perjodohan.

Ingatlah bahwa cinta adalah urusan rumit. Kadang seseorang harus menerima kenyataan bahwa orang yang dicintai bukanlah pasangan hidupnya. Kadang juga justru yang dibenci akan bersama dirinya hingga akhir.

Cinta tidak tumbuh secara instan. Proses perkenalan awal hingga menjelang akhir, adalah satu rangkaian perjodohan yang berkesinambungan. Dengan menikmatinya, maka rasa cinta bisa dipupuk secara perlahan dan tumbuh besar secara alamiah.

Jodoh adalah misteri yang bisa berarti siapa saja dengan cara apa saja. Jika kamu memutuskan untuk menikah, maka terbukalah kepada setiap peluang yang ada, termasuk campur tangan kedua orangtua.

Referensi: 1 2 3 4

SalamAngka
Rudy Gunawan, B.A., CPS
Numerolog Pertama di Indonesia -- versi Rekor MURI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun