Adalah Khrisna Pabhicara, sang nabi munsyi Kompasiana yang menyapaku di grup whatsapp Kompasianer Penulis Berbagi (KPB),
"Bang Rudy, kenapa SalamAngka tidak pakai spasi".
Tahu tidak bagaimana perasaannya jika tulisanmu ditanya sama "tukang sapu-sapu tanda baca?" Mekipun itu hanya sekedar 'trademark' yang berhubungan dengan keilmuanku, namun tetap saja, ngeri rasanya!
Akhirnya dengan otak yang sudah terbiasa mengutak-atik angka, akupun menjawab petanyaan beliau. Dimulai dulu dari salam persahabatan sebagai sesama orang Makassar.
"Daeng, kan SalamAngka yang tergabung ini bisa dipenggal-penggal".
Bisa berarti /Sa.la.ma/ (kata 'selamat' dalam bahasa Makassar), bisa juga /sa. la.mang/ (salaman dalam logat 'kelebihan g' nya Makassar), bisa juga /salamang.ka/ (saya bersalam), dan bisa juga /sala.mangka/ (saya salah), yang berarti Numerolog juga manusia, bisa berbuat salah. Â Â
Jawabanku ini langsung ditanggapi puas oleh sang Daeng yang memang sudah merindukan kampung halamannya.
Namun sebenarnya, aku baru sadar, Daeng Khrisna memang hanya jago di titik-koma saja, tapi kalau soal 'ngeles', emang Numerolog ini lebih lihai darinya.
Akan tetapi, aku bukanlah si Poltak yang bisa ngeles hingga berseri-seri lamanya. Prof. Felix Kenthir yang berpola pikir alit, dan pandai menyusun kata-kata pelik, jelas bukanlah tandinganku.
Oleh sebab itu, pada tulisan kali ini, izinkanlah aku menjelaskan arti dari SalamAngka yang tidak menggunakan spasi ini, agar tidak ditertawakan oleh sang Profesor dengan Kuntilanak Tuna Angka, piaraannya.
Jelas, Salam dan Angka adalah sebuah kesatuan, rasanya tidak elok jika dipisahkan. Langit dan bumi saja tak memiliki batas. Bagaimana mungkin SalamAngka yang kecil ini kemudian diberikan pemisah.