Di saat yang sama, manusia juga menyadari adanya sebuah kekuatan yang lebih besar dari kuasa manusia. "Tuhan" dalam bentuk dewa atau roh kemudian dipersepsikan memiliki perilaku yang sama dengan manusia barbar di zaman itu.
Pada saat ajaran moralitas dan hak azasi manusia belum dikenal secara umum, kemalangan sering dianggap sebagai hukuman dari "Tuhan".
Bagi masyarakat kuno, satu-satunya jalan untuk mencegah hukuman adalah dengan melakukan pengorbanan.
Keyakinan terhadap "Tuhan" sering melibatkan pengorbanan manusia sebegai bentuk kepatuhan dan ketakutan terhadap kekuasaan yang "hakiki".
Biasanya musuh yang tertangkap hidup-hidup, sering dijadikan persembahan kepada para dewa perang yang disembah.
Namun tidak jarang juga, kaum lemah, khususnya wanita dan anak-anak menjadi tumbal untuk menjaga atau mengembalikan kemakmuran.
Setidaknya ritual ini memiliki makna yang berbeda-beda. Mulai dari memenangkan peperangan, menenangkan dewa yang marah, mencegah gagal panen, atau hanya sekedar menambah kesakralan dari sebuah gedung.
Para ahli sejarah menemukan fakta bahwa praktik ini dilakukan secara luas di hampir seluruh kebudayaan manusia.
Dalam legenda Yunani Kuno, Agamemnon raja Yunani mengorbankan anaknya Ihigenia untuk menenangkan Dewi Artemis, agar dapat memenangkan perang dengan bangsa Troya.
Dalam mitologi lainnya, tradisi pengorbanan perawan diawali oleh kisah Ratu Cassiopeia, istri cantik dari Raja Cepheus.
Suatu hari ia membual mengenai kecantikan anaknya, Andromeda, yang jauh lebih cantik dibanding anak wanita dari keluarga Nereids.