Ibunda penulis masih sehat dan segar di usianya yang sudah 76 tahun, setiap hari kerjanya hanya berkeliling di tempat usaha ketiga anaknya.
Bukannya hanya berkunjung, namun ia juga menyambangi beberapa pekerjaan yang cukup penting, seperti memeriksa laporan keuangan, menentukan harga jual hingga mengurusi pembelian barang.
Namun aktivitasnya ini kadang "menjengkelkan", sebabnya ia tak hanya mengurusi apa yang harus diurusi, ia juga sering masuk kepada masalah pribadi, seperti mengganti merek kopi yang sudah terasa nyaman di lidah, hingga menentukan menu makan siang.
Sikapnya yang cerewet dan banyak bertanya, sungguh menganggu konsentrasi anak-anaknya. Perasaan penulis? Kadang jengkel, kadang kasihan, namun lebih banyak menggerutu.
Ayo jujur ya, bagaimana sikap kita terhadap orangtua kita semua? Mungkin ada sebagian yang orangtuanya masih sehat, kuat, dan produktif, seperti ibunda penulis. Namun bagaimana dengan mereka yang sudah uzur?
Di saat kita dituntut untuk memperhatikan hal yang lebih besar, apakah mengabaikan orangtua terasa perlu? Apakah kita akan tetap meladeninya meskipun cerewetnya minta ampun? Atau apakah kita tetap akan merawatnya, meskipun mereka sudah tidak mampu bergerak lagi?
Sementara bagi orangtua sendiri, apakah perhatian anak adalah hak yang harus diterima, atau memang itu adalah sebuah kewajiban yang tidak perlu dibayar?
Sebagian dari anak mungkin masih hidup bersama orangtua mereka, namun ada juga yang hidup seorang diri, jauh dari anak-anaknya, dan ada juga yang sudah dititipkan di rumah jompo.
Di Indonesia, menitipkan orangtua di rumah jompo, masih jarang terjadi. Namun di beberapa kota besar di dunia, rumah jompo serasa sebuah keharusan bagi mereka yang uzur, agar tidak lagi merepotkan anak mereka yang sudah memiliki keluarganya sendiri.
Urusan rumah jompo memiliki dua sisi yang berbeda, ada yang bilang "tidak berbakti kepada orangtua," namun ada juga yang mengatakan "solusi terbaik bagi para orangtua, toh mereka juga bahagia kok bisa berkumpul dengan sejawatnya."
Sikap anak terhadap orangtua memiliki dua sisi yang berbeda, dan semuanya akan kembali kepada persepsi masing-masing, seperti pada kisah di bawah ini;
Akibat letusan Gunung Asama di Jepang pada tahun 1783, yang menyebabkan gagal panen, banyak masyarakat setempat memutuskan untuk membuang seluruh keluarga yang sudah lansia, untuk mengurangi beban perut yang harus diberi makan.
Pun halnya dengan seorang pria yang membawa ibunya yang sudah tua ke puncak gunung untuk dibuang. Namun, meskipun sadar bahwa ia akan dibuang, sang ibu tetap menyayangi anaknya dengan mematahkan ranting dari keranjang yang ia bawa.
Ketika sang ibu diletakkan di tengah hutan, ia berkata kepada anaknya, "Ikutilah jejak ranting yang kupatahkan agar kamu bisa pulang, dan bawalah keranjang ini agar ayahmu bisa lakukan hal yang sama jika kamu membuangnya nanti."
Jawaban ini membuat sang anak tidak kuasa menahan air mata dan memutuskan untuk membawa sang ibu kembali ke rumah.