Waktu tidaklah fana, ia ada disana duduk melihatku dengan kedua kumisnya yang panjang. Entah sudah berapa lama ia bergumul disana, sejak sang buyut menghembuskan nafas terakhirnya.
Waktu bukanlah tiada, ia tetap disana melihatku dengan kedua matanya yang tajam. Entah berapa lama lagi ia sabar disana, menungguku menyusuli sang buyut ke alam baka.
Di saat aku melihatnya, ia tahu bahwa aku meremehkannya. Sudah berulang kali aku melecehkannya, dengan mengatakan "sudah layaknya engkau menjadi sampah."
Di saat aku sedang melamun, ia tahu bahwa aku mengabaikannya. Tidak pernah merasa terganggu akan kepergiannya, karena dalam lamunanku, "aku tak pernah benar-benar menginginkannya."
Di saat aku sedang berdoa, ia tahu kekhwatiranku terhadap umur panjang, ia tahu aku berharap tidak menyia-nyiakannya, ia tahu aku khwatir ia akan terbuang percuma.
Ia menyesali, mengapa aku harus berdoa kepada Tuhan mengenai dirinya, sementara tak sekalipun aku mengajaknya bicara.
Ingin sekali ia berkata kepadaku, "jika engkau tak menganggapku, tak usahlah membersihkan wajahku, tak usahlah mengganti dayaku, berikanlah aku kepada abang si tukang loak."
Hingga suatu saat, ketika aku sudah terbaring tak berdaya di atas dipan, sang cucu tak lagi menginginkannya. Ia akhirnya terkubur bersama jasadku yang mulai membusuk.
Waktu tidaklah fana, kini ia masih berada di sana melihat cucuku yang sudah beranjak tua. Ia baru saja berada di sana menggantikan kesayangan sang buyut yang sudah terlupakan.
Waktu bukanlah tiada, ia baru saja berada di sana melihat cucuku yang berdoa kepada Tuhan, "semoga Eyang diterima di sisi Nya, menghabiskan Waktu yang indah bersama para malaikat."
Selamat jalan Eyang Sapardi Djoko Damono. (1940-2020)
Makassar, 19.07.2020
SalamAngka
Rudy Gunawan, B.A., CPS