Pak Tjiptadinata dan Bu Roselina termasuk manusia yang "menolak sial." Kegagalan demi kegagalan yang diraihnya, membuat mereka bertekad untuk membangun rumah permanen dan menyekolahkan anak di luar negeri.
Mereka berprinsip bahwa "You Are What You Think." Apapun yang diucapkan akan menumbuhkan semacam keyakinan dalam diri, ibarat tanah, tanaman akan bertumbuh sesuai dengan bibit yang ditanam.
"Jadikan kegagalan cambuk diri", hinaan dan olokan tidak untuk menghancurkan semangat.
"Jangan pernah mengutuki diri sendiri," kegagalan adalah anak tangga untuk menggapai kesuksesan.
Hari ini, penulis bersyukur telah mengenal kedua beliau melalui artikel-artikel inspiratif yang setiap hari mengisi Kompasiana. Menapaki kerasnya kehidupan bukanlah sebuah perkara mudah.
Mungkin ada yang mengatakan, apa yang telah mereka capai tak lepas dari kerja keras. Namun disisi lain, keberuntungan (hoki) juga diperlukan bukan?
Sesuai judul artikel Pak Tjip yang menginspirasi tulisan ini: Apakah Benar Ada Orang Ditakdirkan Bernasib Sial? Kita sering bertanya, darimana sih datangnya Hoki dan Sial?
Apakah dengan menolak sial, hoki akan datang dengan sendirinya?
Apakah hoki memerlukan simultan dan sial membutuhkan jimat penolak?
Atau jangan-jangan hoki dan sial memang "ditakdirkan?"
Menurut penulis, hoki dan sial memang ditakdirkan, sudah ada sejak manusia dilahirkan, dan selalu jalan beriringan dalam diri setiap pribadi.
Namun mungkin banyak yang tidak menyadari bahwa hoki dan sial ini, sebenarnya adalah sebuah ilusi yang tidak nyata. Bobot kadarnya, sangat bergantung kepada persepsi.
Secara sederhana, sial adalah sebuah keadaan yang tidak sesuai ekspektasi, sementara hoki adalah keadaan di atas ekspektasi.
Dengan demikian, ekspektasi adalah hal yang menentukan apakah seseorang bernasib sial atau hoki, atau dengan kata lain, bukan takdir, bukan nasib, hokki  berasal dari pikiran dan perilaku diri sendiri.
Ternyata hal ini juga diakui oleh Richard Wiseman, seorang psikolog asal Inggris yang telah mengadakan penelitian mengenai ilmu hoki selama 10 tahun.
Ia mengumpulkan 400 partisipan yang mengaku dirinya sangat hoki dan sangat sial. Ia meminta orang-orang tersebut untuk melihat sebuah koran dan menghitung jumlah foto di dalamnya.