Akhir-akhir ini, masker sangat menganggu. Bukan hanya sulit bernafas, namun ekspresi wajah pun tidak kelihatan dengan jelas. Sejak menggunakan masker, banyak hal yang penulis rasakan berubah.
Penulis yang murah tersenyum, kini sepertinya menjadi jutek, akibat gigi yang indah telah tertutupi oleh balutan masker. Tahu gak sih, gimana perasaanya jika senyuman tidak dibalas? Sebal kan rasanya.
Pun masker juga membatasi jarak kenal diantara kita. Beberapa kali sudah penulis yang bermuka pasaran, disapa oleh orang-orang yang tidak dikenal.
"Rud..."
"Siapa ya?"Â
"Ini aku, Anton", sambil membuka maskernya.
Wajah bening yang selalu dinikmati, kini harus hilang tertelan kain. Bagaimanapun, sebagai lelaki normal, kecantikan wajah adalah anugrah pencipta yang harus dikagumi kan?
Namun kegunaan masker memang dibutuhkan untuk menjaga kesehatan selama masa pandemi. Secara medis, penggunaan masker ini telah terbuktikan dapat mengurangi potensi penularan melalui cairan droplet yang berasal dari aurat berbasah.
Penggunaan masker akan menjadi hal yang sangat umum, layaknya penggunaan daleman dalam keseharian. Pun dengan segala keterbatasan, kebiasaan baru telah terjadi.
Meskipun hanya disarankan selama masa pandemi, namun dengan kenyataan bahwa virus ini akan selalu ada, maka seharusnya masker akan menjadi hal yang selalu mendamping diri kita dalam keseharian hingga mati.
Adalah sebuah kepercayaan leluhur yang berasal dari filsafat Taoisme. Konon para mendiang juga memiliki kebutuhan yang sama dengan apa yang mereka butuhkan selama masih hidup di dunia.