"Yukkk, kumpullll..."Â Teriakan ayahanda membahana di atas loteng rumah toko jaman dulu. Waktu menunjukkan pukul 20.00 dan lampu "stronking" menjadi satu-satunya sumber cahaya.
Rumah kecil yang ditinggali oleh kakek, nenek, hingga ke cucu, tidak kalah dengan mobil yang dipromosikan bisa memuat 3 generasi. Tidak ada yang terbatasi, ruang sempit selalu membawa sensasi.
Teriakan sang ayah menandai waktunya bermain monopoli. Iya, permainan jadul yang melibatkan diri menjadi cukong properti. Modelnya sederhana, dengan modal "uang" secukupnya, pemain tinggal memutuskan properti apa yang akan dibeli, sambil berharap tidak kejeblos ke dalam penjara.
Penulis yang masih kecil, selalu menanti momen ini. Konon memiliki bakat terpendam, selalu terlibat menjadi bankir. Tugasnya sederhana, cukup menukar uang saja.
Namun di malam yang gelap itu, penulis tidak mendapatkan giliran, karena kebetulan sepupu dari Surabaya datang menginap. Atas nama penghormatan kepada tamu, Koh Ronny lah yang menjadi bankir pada malam hari itu.
Dasar anak kecil, ngambek, nangis, caper, tidak dihiraukan lagi. Jengkel, marah, emosi, akhirnya papan monopoli pun jadi sasaran amukan. Ambyar deh...
Penulis kembali mengingat, ternyata pernainan papan monopoli, bukan satu-satunya yang bisa menyenangkan hati. Di jaman dulu, pada saat kota Makassar masih terasa sepi, Social Distancing memiliki warna tersendiri.
Sejarah berulang lagi, sepertinya alam menginginkan kita semua kembali menekuni kegemaran masa kecil yang sudah lama terabaikan. Nah, bagi Kompasianer yang ingin mencari alternatif penebus rasa bosan ala jadul, ini ada beberapa ide:
Ludo
Sudah bertransformasi menjadi gim on-line, namun di jaman dulu, tanpa teman, permainan ini tidak mungkin dinikmati. Bersama ayah, bunda, dan kakak. Permainan ini bisa dimainkan dengan sangat sederhana.
Cukup melempar dadu dan menghitung langkah pion warna-warni menuju garis finish. Tidak ada keahlian khusus, hanya perlu melihat, siapa yang lebih Hokki.