Masih mengenai Didi Kempot, legenda sang Broken Heart yang membuat Sobat Ambyar belum bisa move-on.
Penyanyi Campur Sari ini meninggal di Solo, Jawa Tengah, Selasa (05.05.2020). Sebelum menghembuskan nafas terakhir, mendiang sempat menggelar acara pengumpulan dana untuk meringankan beban pandemi covid-19 di Indonesia.
Dari acara penggalangan dana, telah terkumpul 9 milyar Rupiah dan masih terus bertambah. Keberhasilan acara ini tidak terlepas dari kemahsyuran Lord Didi yang telah sukses menciptakan lebih dari 700 lagu.
Karyanya yang kental dengan adat jawa, telah menjadi lagu yang dapat menembus lintas etnis, lintas budaya, lintas usia, bahkan lintas negara. Bukan hanya kaum kolonial saja, namun kaum milenial juga terbukti menyukai karyanya.
Gaya yang sendu mendayu menjadi ciri khas dari musik yang digelutinya. Mendapat julukan The God Father of Broken Heart, menandai betapa jenis musik ini sungguh menjadi karya yang dapat merebut hati para Sobat Ambyar.
Mengapa manusia suka dengan lagu sendu yang mendayu? Apakah hal ini baik secara psikologis? Apalagi di jaman pandemi, yang konon kabarnya, harus menjaga sikap optimis agar imun tubuh dapat tetap terjaga?
Masih ingat lagu "gelas-gelas kaca" di jaman Harmoko? Lagu yang terkenal karena nada, suara, dan rupa yang sambung menyambung menjadi satu ini, pernah dilarang oleh Menteri Penerangan, Harmoko pada zamannya.
Alasannya, "merusak moral dan semangat bangsa." Beliau takut jika popularitas lagu ini dapat merubah anak bangsa menjadi cengeng. Namun ternyata anak bangsa terbukti masih tetap hebat, meskipun tumbuh besar dalam lingkungan "gelas-gelas kaca."
Nah, apakah betul, lagu mendayu bisa membuat seseorang menjadi sendu melayu? Mari kita lihat pendapat para ilmuwan.
Musik Sendu adalah Teman Curhat
Pada tahun 2014, seorang pakar musik bernama Kay Norton melakukan sebuah penelitian mengenai lagu sendu bagi para pendengarnya. Hasilnya, secara psikologis ternyata lirik dan nada lagu sendu dapat menjadi media untuk mengungkapkan perasaan.