Di masa pandemi, waktu terasa begitu lama berlalu. Hal yang sama juga dirasakan oleh seluruh keluarga dan para sahabat. "Bosan," mungkin kata yang paling tepat untuk menggambarkannya.
Bagi si Upin yang menelpon "ngadul-ngidul" sejam lamanya, kebosanan jelas telah datang melanda, tapi bagi si Ipin yang "super sibuk", entah apa yang datang menerpa, waktu tetap berjalan lamban.
Apakah yang terjadi? Apakah virus Corona yang beredar juga memengaruhi otak, sehingga semua orang merasakan waktu yang lamban selama masa pandemi ini?
Waktu memang misterius adanya, 24 jam sehari terukur dengan tepat, tapi kenyataan yang dijalani tidak seperti itu. Setiap orang seharusnya menjalankan hidupnya dengan rentan waktu yang sama, sayangnya persepsi manusia tidak menjaga waktu seakurat jam yang bergerak di dinding.
Persepsi individu terhadap waktu memang tidak pernah sama dan sangat dipengaruhi oleh tingkat konsentrasi, keadaan fisik, dan suasana hati. Pada saat kita sedang bosan, waktu terasa begitu lama berlalu. Sebaliknya pada saat sibuk sana-sini, waktu terasa berlari.
Namun ternyata, aktivitas saja tidak cukup untuk memengaruhi persepsi kita terhadap waktu, kualitas emosional seperti rasa sedih, kekhwatiran, atau tertekan, juga sangat memberikan peranan penting.
Adalah istilah jam biologis yang dimiliki oleh setiap orang untuk mengatur fungsi tubuh. Sistem ini dikendalikan oleh saraf sentral alias otak. Perbedaan sistem biologis pada usia, termasuk salah satu alasan mengapa pada masa kanak-kanak, waktu terasa lebih lamban, dibandingkan dengan saat kita beranjak dewasa.
Anak-anak lebih banyak melakukan aktivitas fisik, sehingga detak jantung yang memengaruhi tarikan nafas dalam semenit menjadi lebih banyak dibandingkan dengan orang dewasa. Menurut penelitian, dalam semenit jantung anak berdetak sebanyak 150 kali, sedangkan usia dewasa hanya 75 kali. Hal ini berarti bahwa orang dewasa membutuhkan waktu dua menit untuk mencapai jumlah detak jantung yang sama dengan anak.
Perhitungan matematika sederhananya adalah:
1 menit = 60 detik
Anak -- 1 detik = 150 detakan -- 1 menit (60 detik) terasa 9000x detakan.
Dewasa -- 1 detik = 75 detakan -- 1 menit (60 detik) terasa 4500x detakan.
Dengan demikian maka otak anak akan merasa lebih banyak aktifitas detakan yang dapat dilakukan dalam 1 menit, sehingga waktu akan terasa lebih lama berjalan.
Nah, dalam kondisi penuh kecemasan, ternyata detak jantung menjadi lebih cepat. Masa pandemi, membuat kita mewaspadai banyak hal. Bukan hanya penyebaran virus saja, namun juga masalah ekonomi hingga masalah sosial yang serba tidak pasti. Inilah yang menjadi alasan, mengapa waktu terasa lebih lamban di masa pandemi ini.