Pandemi Covid-19 mulai mencari kambing hitam, tidak main-main dua negara raksasa sekarang sedang menghadapi jari-jari yang mengarah.
Memang bukan namanya Manusia, jika tidak mencari tahu sebab masalah. Menuduh dapat menenangkan hati yang sedang berperang, meskipun pada akhirnya hanya akan menjadi sebuah sejarah yang kelam.
Namun jika salah satu dari kedua tuduhan ternyata benar, maka pikiran akan mengarah ke satu kata yang mengerikan: "Senjata Biologis Pemusnah Massal."
Asal Mula Senjata Biologis
Diyakini pertama kali terjadi pada perang Troya (126---1180 SM). Epos Iliad karya Homer mendeskripsikan pasukan Yunani yang dipimpin Raja Sparta Menelaus menggunakan anak panah dan tombak yang dilumuri bisa ular. Detail dalam karya Homer ini menjadi penanda awal penggunaan racun dalam peperangan.
Mengutip Albert J. Mourini dalam bukunya "Chemical and Biological Welfare: A reference Handbook", sejarah penggunaan senjata biologis terbagi pada dua periode:
Pertama, sebelum abad ke-20 dimana metode lazimnya adalah meracuni makanan dan air dengan racun biologis (hewan, tanaman busuk). Periode kedua adalah abad-20 yang menggunakan agen biologis yang lebih canggih, seperti Anthrax, Brucella (dari jenis bakteri),  cacar, hemoragis (dari jenis virus), dan botulium, ricin (dari jenis racun).
Pada abad pertengahan (Abad ke-5 hingga ke-15), selain melumuri senjata dengan racun, tren penggunaan senjata biologis yang paling populer adalah menyebar wabah penyakit melalui mayat atau bangkai yang membusuk.
Seperti yang dilakukan oleh pasukan Mongol (abad ke-13), pasukan Tartar (abad ke-14) dan pasukan Inggris (1340) kala mengepung kota Thun-l'vque di awal Perang 100 Tahun.
Diabad ke-20, penggunaan senjata biologis menjadi lebih berkurang seiring dengan semakin berkembangnya persenjataan perang. Namun demikian sejumlah negara tetap memiliki sejarah kelam atas penggunaan senjata biologis.
Era Perang Dunia