Harapan seperti sindrom kekakuan bagi mereka para pelita kehidupan kini. Menginginkan apa yang tidak bisa dilakukan, dengan takut, dengan sedikit, curang seperti mereka para bebal disana dengan peragaan kampanyenya.
Apakah aku juga ingin mencurangi diriku seperti mereka itu? Yang tidak terduga, bawalah aku kegerbang kehidupan masa lalu saja. Agar jalan ini terang, siapa mereka, siapa aku, dan bagimana tentang keminatan kehidupan ini, "meluruskan atau membela upaya hidup mereka para penghuni tepian sungai sana".
Drama yang kita ciptakan seperti "enyah" dimakan jaman. Kegelapan, kuasa, dan sedikit-sedikit soliter tanpa teman dalam menikmati hari. Tulisan-tulisan ini, membawa aku dalam setiap lamunan kegelapan siang, pada hingar-bingar, dan pada cara manusia memandang kemanusiaan. Jelas ini, menggelisahakan, upaya melepaskan hasrat, yang hanya akan menjadi sampah waktu pada akhirnya.
Magrib ini mebawa nyawa bagi jemari-jemariku. Aku seperti ingin melukis perasaan yang tenang, sedikit jujur terhadap dirinya sendiri.
Tetapi ini alam imajinasi bawah sadar, "rasanya seperti melukis kata dengan perut, yang sedang kekenyangan akibat makanan, yang telah aku banyak telan, "memuakan seperti rokok membuat jantung ini teraasa sakit".
Sialnya, perut-ku hanya perut mie instan, yang aku beli di warung sebelah sana, pojokan jalan Matana. Tentang kewajiban, menurut anggapan banyak orang, persetan dengan semua itu.
Aku bebas menjadi diriku, karena semua akan kembali kepada diriku juga pada akhirnya. Dayang-dayang, istri-istri, dalam bentuk bidadari, apakah godaan alam imajinasi kita saja yang terus mendiami otak pikiran ini?
Aku bukan lagi seperti anak kecil, yang mau ditawari tanpa menyadari. Lakukanlah hal itu, hal yang membuatmu jatuh cinta pada dirimu sendiri, tentang berbagai hal yang melampaui. Biarlah relung hatimu yang berbicara padamu, keilahian itu tidak akan pernah luntur dari dan untuk diri kita sendiri.
Bagaimana pun ini, tetap pada tubuh yang sama, dan suasana yang tidak akan jauh berbeda. Manusia harus dengan dirinya sendiri baik senang atau bosan, meskipun hanya bermain di ruang anggapan yang dilamunankannya.
Sepertinya, kenyataan tidak akan membawa ke langit, singgasana ke tujuh bidadari itu. Manusia tetap harus menginjak bumi. Ketika rasa senang ada, kebosanan akan muncul pada hari berikutnya, dan manusia harus tetap, jatuh cinta pada unsur manusianya sendiri, membauang jauh harapan-harapannya, pada dunia secara berlebih dan kompleks.
Sedikit mencuri harapan boleh saja, agar kau dan aku tenang pada nasib kita ke depan, yang sebenarnya fana tanpa kepastian. Dunia membentuk kita sebagaimana adanya, alam pikiran kita, melihat nyawa-nyawa bergelipang emas permata, lalu kau juga ingin menirunya, seperti aku ingin meniru konsep manusia unggul disana, yang masih dalam misteri itu.