Menjadi manusia memang tidak berbeda. Setiap manusia berhak berpikir, berhak menentukan hidup sesuai dengan apa yang mereka inginkan. Begitu pula menjadi perempuan, mereka bebas menjadi apapun yang mereka mau. Kita, antara perempuan dan laki-laki terperangkap di tubuh yang sama yakni manusia.
Tetapi tentang ide moralitas, seperti sebuah sandungan dalam menjadi manusia. Semua serba atas nama keyakinan yang dipercayainya masing-masing dalam memandang hidup. Norma-norma yang masyarakat pandang seperti sebuah dalil sosial, padahal sosial terbentuk dari pribadi-pribadi antara laki-laki dan perempuan, dimana wacana menghakimi sebagai masyarakat, haruslah bagaimana menjadi manusia secara pribadi terlebih dahulu.
Hidup didalam keyakinan pada tradisi seperti gampang yang susah, disamping gampang telah memiliki pakem yang ada, susah ketika pakem tersebut tidak sesuwai dengan apa yang manusia klehendaki didalam menjadi masyarakat itu sendiri sebagai pribadi. Menjadi masyarakat "ibarat" manusia menjadi dua kaki, satu kaki harus taat pada norma masyarakat, satu kaki lagi harus dapat menjadi bebas sebagai pribadi manusia.
Maka moralitas dan strata sosial dalam masyarakat seperti hanya akan berbuah paradoks. Namun yang tetap menang disini yakni laki-laki yang dipandang lebih superior dibandingkan perempuan. Dalam hal moralitas juga sama, laki-laki seperti biasa dipandang dalam hal-hal merokok, mabuk, dan bekerja kasar misalnya.
Baca juga: Jodoh dan Ironi Keminderan"Tetapi berbicara hal yang sama menjadi manusia, perempuan seharusnya dipandang sama jika mereka harus merokok, mabuk, atau kerja kasar untuk mengisi harinya sebagai manusia".Â
Saya tidak sepakat bahwa: rokok dan apapun itu terlarang bagi perempuan secara wacana ide moralitas kepatutan menjadi masyarakat, mau mabuk atau apapun, itu adalah kebabasan sebagai manusia termasuk "perempuan" itu sendiri.
Tetapi kembali lagi dengan budaya yang terabangun dimasyarakat kita, tentang budaya patriarki dimana laki-laki lebih tinggi stratanya dari perempuan, yang me-lumrah-kan sebagai laki-laki dalam membangun "nakalnya" dan stigma terlarang bagi perempuan untuk menjadi nakal seperti laki-laki.
Mabuk, rokok, dan segala macamanya termasuk mencari nafkah keluarga, bukakah sudah menjadi prodak kebudayaan dari dulu yang dilebeli untuk laki-laki? Pola pikir masyarakat sudah terbentuk begitu "berpakem": wanita itu harus kalem, penurut, dan tidak mengikuti gaya hidup yang nakal . Jelas pandangan masyarakat men-stigma bahwa; kalau dia "perempuan" tidak bener karena diluar dari pakem itu, yang menjadi perspektif ideal bagi masyarakat.
"Namun lambat laun, ini hanya budaya, bisa berubah tergantung pola pikir lagi di masyarakat. Setelah masyarakat dewasa memandang kehidupan, membuat ber-pakem-pakem itu akan hilang dengan sendirinya, karena keadaan gaya hidup populer dan segala macamnya termasuk dalam semesta wacana pemenuhan kebutuhan pribadi, keluarga akan terus mengikuti kebutuhan zaman begitu juga narasi menjadi perempuan."
Bukankah kini karena kebutuhan hidup, perempuan mencari nafkah sudah menjadi biasa untuk sama-sama memenuhi kebutuhan keluarga? Sepertinya benar perspektif yang diyakini masyarakat dalam wacana ide masyarakat sendiri, yang belum dewasa memadang sesuatu diluar pakem menurut pandangan mereka.