Suara yang bergeming pagi ini rasanya seperti suara sapu ijuk yang setiap pagi bergema di jalan raya, ya aku memang tidak pernah menjumpai itu pasukan pembersih jalan raya yang selalu sibuk setiap pagi dengan segudang kecerahan yang mereka bawa setiap harinya.
Bahkan waktu subuh pun aku masih terlelap menjemput semua nasibku malam itu yang ingin aku kutuk menjadi sebuah abu. Ya tentu menjadi abu dimana aku bisa terbang ke pegunungan Swis, Eropa yang indah itu, Laut Raja Ampat yang menawan di Papua sana.
Ya hanya itu yang aku bisa, berilusi, berimajinasi, membayangkan, dan mengandaikan bahwa semua itu dapat terjadi. Tetapi mungkin baying-bayang kenyataan ini sepertinya telah tandus. Realitaku tak akan pernah kemana-mana selain imaji-imajiku.
Bagaimana mau kemana-mana, kebutuhan yang mendasar seperti telah menunggu untuk di akses dan dibeli kedepannya,rumah, lahan pertanian sebagai sumber daya hidup. Disini akan lebih menarik membangun itu sebagai sebuah instrument hidup dari pada jauh-jauh berkeliling tetapi dimasa hidup yang pajang terkatung-katung oleh gaya yang mentereng tetapi untuk makan tidak mampu.
Mamang menjadi manusia adalah pilihan bagi siapapun yang sadar akan pilihannya itu. Ada orang yang pecaya akan keyakinanannya, ideologinya dan ada yang percaya gaya hidup yang utama. Namun dibalik semua itu, apakah semua secara bebas benar harus dijalankan sesuai dengan hal-hal yang ideal itu?
Menjadi manusia kini, nyatanya antara kutukan dan doa merupakan bagian yang tidak pernah lepas dari bayang-bayang pikiran akan hidupnya yang kadang merasakan kebahagiaan sedetik derita tiga sampai empat jam berikutnya.
Rasanya menjadi keduannya berarti memagang erat sebuah kekhawatiran, bagaimana unutk menjadi tunggal di dalam kehidupan ini, yang tak peduli pada kendali apa yang di kendalikan orang lain itu lebih baik dari pada ingin diri terlibat dalam hidup manusia lain yang penuh dengan drama yang mengotori batin dan kalbu kita sendiri.
Memang benar, hidup itu sebuah kesusahan dan sebuah kepayahan yang inginnya kita lupakan, ya tentu hanya teruntuk masalah kita sendiri, bukan kita membawa masalah orang lain terhadap kita.
Namun dibalik itu antara senyum dan tawa, kita memang bisa berekspresi, sesuai apa yang kita mau, tetapi apakah tidak akan ada sesorang yang akan mengusik kedamaian hidup kita pada akhirnya dalam menjalaninya?
Harapan sedikit agak mengecewakan. Inilah, menjadi manusia soliter, hidup diruang-ruang pribadi, tanpa peduli sekitar. Dibutuhkan untuk menangkis bagaimana bersentuhan dengan banyak orang nyatanya banyak mengusik kedamaian diri.