Satu dari banyak hal yang masih belum saya pahami adalah arah dari bagaimana NU atau Nahdalul Ulama memandang kemajuan yang ramah pada peradaban, yang semakin komleks di Indonesia bahkan juga dunia pada Muktamar ke-34 yang kini sedang dilangsungkan terhitung tanggal 22-24 Desember 2021 di Provinsi Lampung.
Entah, tetapi saya berharap sebagai salah satu warga Nahdliylin. Elite NU seyogyanya harus paham isu-isu social-kebudayaan, ekonomi, pendidikan maupun garapan-garapan tekologi terbaru yang berbasis pada sains, yang juga harus disongsong oleh para elit NU yang diberi mandat menahkodai NU dalam lima tahun kedepan.
Bukan apa, NU sebagai rumah besar bagi warganya, dapat dikatakan juga sebagai gerbong kereta pembawa warga NU untuk berkemajuan, berkepribadian, serta membawa identitas NU dalam kemanusiaan yang lebih luas. Tentu dibutuhkan seorang elite NU yang paham kebutuhan jaman sebagai tonggak kemajuan bagi warga NU.
Sebab dalam segi apapun itu dipandang, NU dapat maju yang membawa NU itu sendiri akan maju yaitu tetap saja adalah warga NU, yang dibina secara berkelanjutan dangan kebijakan-kebijakan oleh para elite NU yang mempunyai "wawasan" bagaiamana memberdayakan NU secara keseluruhan di masa depan.
Maka dari itu, kita harus jujur dan menyadari NU saat ini merupakan salah satu kekuatan berbasis social masyarakat yang besar dan dapat dikatakan juga sebagai gerak perubahan social di Indonesia dan tentu dunia, yang mana keberadaan NU saat ini tidak hanya di Indonesia tetapi dunia.
Sebab sebelumnya dalam revolusi Indonesia yang terjadi pada tahun 1945, Indonesia merdeka melepaskan diri dari penjajahan kolonialisme. NU juga merupakan pelaku dari adanya perubahan Indonesia lewat perang atas nama jihad yakni cetusan akan "resolusi jihad" melawan bentuk penjajahan Negara atas Negara yang langsung di komandoi oleh pendiri NU yakni K.H Hasyim Asyari.
Selain itu, tokoh NU seperti Gus Dur juga dapat dikatakan sebagai salah satu elite NU yang secara terang-terangan mendukung adanya pancasila sebagai dasar Negara Indonesia. Di mana saat itu di masa orde baru, saat Soeharto berpidato soal penegakan Pancasila.
Gus Dur pada tahun 1983 mengusulkan kepada Rais Aam NU saat itu K.H Ali Ma'sum supaya dibentuk komisi khusus membahas posisi NU terhadap Pancasila. Kiai Achmad Siddiq yang menjadi ketua komisi tersebut membuat keputusan: "Islam bersifat pluralisik dan oleh karena itu pelaksanaan agama islam harus bersifat pluralistik dan hal ini sesuai dengan tradisi NU".
Untuk itu pada Muktamar 1984, ada dua keputusan penting yang diambil oleh NU bahwa pertama, NU secara resmi menyatakan Indonesia sebagai Negara berlandaskan Pancasila dan UUD 1945 dan ini merupakan bentuk final. Kedua, NU sebagai organisasi menyatakan keluar dari politik praktis.
Dengan hasil keputusan muktamar, saat ini 2021 dapat terasa kebijakannya bahwa NU dengan adanya keputusan muktamar 1984 secara final mengakui pancasila. Bibit-bibit radikalisme pada penyelenggaraan Negara Indonesia sendiri atas nama agama khususnya islam dapat ditekan oleh warga NU, di mana NU menjadi pioneer pengerak pluralism dan demokrasi di Indonesia sejak era Gus Dur.
Selain itu menyatakan keluarnya NU dari politik praktis sendiri merupakan bentuk dari kemandirian NU sebagai organisasi masyarakat, yang di mana NU kini lebih ditantang selain untuk memajukan dan menyejahterakan warga NU baik di bidang ekonomi, pendidikan, dan kesehatan yang masih kurang optimal penyelenggaraannya di Indonesia dapat dioptimalkan dengan cara NU sebagai organisasi masyarakat kepada anggota dan warganya.Â