Mohon tunggu...
Toto Priyono
Toto Priyono Mohon Tunggu... Penulis - Penulis
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Kamu bintang besar! Apa yang akan menjadi keberuntungan Anda jika Anda tidak memiliki sesuatu yang membuat Anda bersinar? -Friedrich Nietzsche-

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Antara Padi, Petani, dan Tumbal Peradaban

9 Juli 2021   10:58 Diperbarui: 9 Juli 2021   11:00 215
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi: mediaindonesia.com

Seperti halnya tanaman padi yang menunduk, semakin menunduk dan jatuh semakin ia tak bernilai. Bukan apa, tanaman padi jika roboh di sawah terkena angin, tentu kualitas dari padi itu akan berkurang ditambah padi terkena air disawah, yang membuat biji padi sendiri terendam air.

Lama kelamaan tanaman padi itu yang terendam akan menumbuhkan tanaman-tanaman padi baru dan tentu tidak dapat dipanen oleh petani. Tanaman padi yang rubuh juga akan menyulitkan petani dalam memanennya karena posisinya sendiri yang roboh lebih sulit dibandingkan memanen dengan tanaman padi yang masih tegak. Petani harus mengeluarkan tenaga exstra memanen tanaman padi yang roboh terkena anggin.

Maka tidak salah jika tanaman padi roboh, banyak para buruh tani di desa sendiri enggan memanennya. Ditambah saat ini tenaga pertanian sangat terbatas di desa. Mencari tenaga untuk pertanian susah-susah gampang. 

Yang lebih parahnya lagi jika harga gabah sangat rendah, berpengaruh terhadap minat orang-orang terjun menjadi tenaga dipertanian khususnya tanaman padi disawah. Medan yang terjal disawah, lumpur yang membuat berat menghambat kerja, butuh perjuangan yang keras petani untuk mengolah sawahnya dan tenaga yang extra para pekerja pertanian.

Namun yang menjadi pertanyaan bersama dan memang mengundang banyak masalah dari pertanyaan-pertanyaan itu terkait dengan tidak berbandingnya pertanian itu sendiri baik dari biaya perawatan pertanian maupun nilai jual dari hasil pertanian itu. Apakah pertanian saat ini masih memiliki daya tawar yang tinggi untuk digeluti bahkan oleh petani itu sendiri dan mereka para tenaga pertanian di desa?

Prolog tulisan dari tanaman padi disawah, memang sedang menjadi fenomena yang pelik di Kecamatan Maos, Kabupaten Cilacap yang sedang memasuki panen raya Padi disawah mereka (9/7/2021). Tidak sedikit tanaman padi yang siap dipanen justru mengalami roboh. Dan itu adalah masalah yang tidak ringan, meski yang lebih berat dari masalah itu ada yakni hama wereng dan sebagainya yang membuat gagal panen.

Pada kenyataannya yang terjadi dilapangan saat ini. Tanaman padi roboh juga membuat biaya pertanian sendiri bertambah meski dampaknya tak fatal. 

Setidaknya harga yang harus dibayar dalam hal ini tenaga pertanian yang memanen tanaman padi disawah tak berbading lurus dengan hasil itu sendiri. Setidaknya dalam pertanian, apalagi sudah menjadi budaya didesa, semakin sulit tenaga dalam memanen tanaman padi, sudah menjadi kewajiban petani untuk lebih mengapresiasi tenaga pertanian atau buruh tani yang ikut memanen.

Bukankah dengan apresiasi lebih itu akan menambah biaya petani untuk buruh tani yang ikut dalam memanen tanaman padinya? Inilah kasus yang terjadi di beberapa desa di Kecamatan Maos, petani harus menambah nilai hasil dari biasanya untuk buruh tani mengingat tanaman padinya yang roboh dan sulit dipanen.

Masalah lain mencari tenaga pertanian saat ini yang tidak gampang membuat laju harga tenaga pertanian sendiri terus melonjak tetapi harga gabah saat ini tidak sesuai harapan, tak berbanding dengan perawatan yang dikeluarkan petani, dimana harga gabah terpantau dengan harga minimal gabah. Disitulah tambah masalah lagi, harga gabah yang murah mempengaruhi peminat tenaga pertanian untuk ikut terjun dalam panen raya tahun ini di Kecamatan Maos. Terbukti dibeberapa desa di Kecamatan Maos kekurangan tenaga dalam memanen tanaman padi. Medan sawah yang terjal menguras banyak tenaga, belum harga gabah yang tidak seimbang menjadi dalih engannya tenaga pertanian untuk terjun ke sawah.

Terpantau, harga gabah terakhir belum sebulan, dimana ayah saya menjual gabahnya karena akan datang masa panen berikutnya, harga per satu kuintal di desa sekitar 400 ribu. Tentu untuk biaya oprasional pembelian pupuk dan sebagainya tak memuaskan petani. Banyak petani didesa adalah petani penggarap yang juga harus menyiapkan biaya untuk menyewa lahan kembali.

Belum pembayarannya sendiri petani harus bersabar karena memang pembayarannya masih dituggak oleh pengepul. Sebagai contoh ayah saya yang sampai saat ini belum menerima hasil penjualan padinya masih ditahan oleh pengepul uangnya. Disitulah masalah yang terjadi bagi petani bukan hanya ayah saya tapi juga sebagaian petani lainnya.

"Jika sudah menjumpai masalah seperti itu, dari pada padi menumpuk dirumah, meski harganya sendiri jatuh merupakan pilihan yang mau tidak mau harus dilakukan petani yang tetap harus menjual gabahnya".

Membicarakan tanaman padi, saya ingat sebuah perumpamaan, banyak pribahasa bahwa filosofi padi sendiri digunakan untuk manusia menyelami sikap rendah hati manusia yang sebenarnya bernilai.

"Pribahasa bijak itu berkata: tirulah sikap tanaman padi yang semakin berisi, ia akan semakin menunduk dan menjadi seorang yang bajik harus tetap rendah hati".

Tetapi apakah pribahasa padi tersebut juga tidak bisa menjadi dalih bahwa apresiasi padi sebagai makanan pokok masyarakat Indonesia juga harus dihargai sama seperti filosofinya yang banyak digunakan oleh manusia untuk jalan kemuliaan hidupnya, dalam hal ini mengapresiasi padi, petani, dan tenaga pertanian?

Memang begitu besar jasa pertanian yang ada di indoneisa bahkan dunia sebagai pioneer kesejahteraan umat manusia. Tetapi mengapa petani sendiri selalu saja digilas oleh peradaban yang selalu saja pertanian menjadi tumbal? Permintaan akan bantuan covid-19, dimana beras menjadi bahan utama bantuan, seharusnya permintaan akan beras sendiri dimasa-masa covid-19 ini mampu menyetabilkan harga gabah. Namun keadaan itu justru sebaliknya tak mampu menyetabilkan harga gabah.

Tidak dipungkiri, petani sendirilah yang menyumbang besar segenap kegagapan ekonomi yang sedang berlangsung dimasa pandemic ini. Turunya harga gabah setidaknya membantu mereka yang keadaan ekonominya sulit dengan beras murah. Apakah beras dipasaran sudah murah dengan harga gabah murah? Jika sudah, petanilah yang patut diapresiasi.

Namun jika beras sendiri masih mahal, disitulah letak permasalahaanya oknum-oknum yang tak bertanggung jawab. Sudah pasti petani disetaip masanya selalu menjadi tumbal peradaban, bahkan yang selalu terkalahkan, biaya produksi tidak sesuai dengan hasil produksi itu sendiri tetapi kemuliaan dari jiwa petani tetap menggarap pertanian meski minim keuntungan untuk dirinya sendiri.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun